Sekalipun zaman telah modern, beberapa orang kususnya generasi sebelum millennial (generasi kelahiran penulis: 1981-1994), seperti Generasi X ( generasi kelahiran orang tua penulis: 1965-1980), dan generasi Baby Boomer (generasi kelahiran Kakek-nenek penulis: 1946-1964) umumnya masih percaya yang namanya tahayul.
Sebelum melangkah terlebih jauh. Teruntuk yang belum tahu, tahayul sendiri menurut Zeffry Alkatiri dalam bukunya yang berjudul "Jakarta Punya Cara" mendefenisikan tahayul sebagai sebuah tindakan yang apabila tidak dijalani, orang akan mengalami berbagai gangguan (menjadi pamali), atau berdampak buruk bagi kehidupan, seperti datangnya penyakit dan berbagai gangguan lainnya yang tak dikehendaki.
Simpelnya, generasi jadul (jaman dulu)Â termasuk didalamnya orang tua kandung dan orang tua dari teman sepermainan, sekiranya masih percaya akan fenomena ini.Â
Misalnya tahayul pada nama (jika nama kurang membawa berkah, maka akan segera diganti), tahayul pada hari (percaya pada adanya hari baik, hari buruk), tahayul pada mimpi (percaya jikalau mimpi membawakan tanda-tanda tertentu), tahayul pada bangunan (percaya dengan adanya tempat yang memiliki daya magis), dan lain sebagainya.
Boleh saja kala generasi terdahulu percaya akan hal ini, karena diri pribadi yang terlahir sebagai generasi kekinian (millennial), jelas memiliki anggapan tersendiri bahwa tahayul memang sengaja dibentuk untuk menciptakan keteraturan (sekali lagi bukan untuk tujuan syirik ya).
Betapa tidak, hadirnya tahayul sudah tentu membenarkan suatu sistem sosial yang setidaknya telah turun menurun sebagai pengendali, sebagai pembatas, serta sebagai pelegitimasi hal-hal yang sebenar bertujuan baik dan dapat menghasilkan suatu keseimbangan sosial dalam masyarakat.
Fenomena tahayul tak cuma belakangan ini hadir, bahkan sejak zaman colonial, masyarakat kita telah akrab dengan fenofema seperti ini. Jejak tersebut didapat kala menelusuri buku karya dari Alfred Russel Wallace, Kepulaan Nusantara, yang berisikan catatan dirinya sebagai naturalis mengarungi pulau-pulau di nusantara.
Ia mengungkap "Kepercayaan akan tabu yang disebut 'pamali' sangat umum. Pohon buah-buahan, rumah-rumah, hasil panen dan berbagai harta milik dilindungi dari bahaya dengan ritual yang sangat dihormati."
Itu tahayul pada zaman dahulu. Nah, dalam beberapa kasus diri pun sempat bersentuhan dengan perkara tahayul yang diyakani orang tua. Tahayul tersebut masuk kepada kategori tahayul pada hari, alias orang tua saya memiliki keyakinan kuat bahwa pantang bekerja di hari libur (lembur boleh asal hari kerja).Â
Alasannya sederhana, karena sudah selayaknya hari libur hanya diisi oleh aktivitas berlibur bersama keluarga dan menjadi ajang untuk beribadah (semisal ikut kajian agama maupun pengajian). Ketika tak dilakukan senada dengan yang dijelaskan, maka dipercayai rejeki akan sulit mengalir dalam kehidupan.
Kalau dipikir-pikir, memang sah-sah saja jikalau hari libur diisi oleh beragam kegiatan (selain berkumpul bersama keluarga & beribadah tentunya). Namun, karena sudah diyakini sedari kecil dan turun-temurun, maka pantangan beraktivitas (selain yang tertulis diatas) menjadi paripurna dan tak bisa diganggu gugat.