Oleh sebab itu, bagian bertanjung jawab dalam hidup inilah sudah sewajarnya dimajukan untuk menjadi jawaban dari segala pertanyaan terkait memaknai hidup ataupun menjadikan hidup sehat sebagai aset.
Karena sekalipun orang sudah demikian paham akan hidup sehat ialah aset terpenting dalam meraih mimpi (bahkan sudah tahu langkah-langkah untuk hidup sehat). Tetap saja, banyak orang (termasuk saya dahulu), tak begitu menjadikan sehat sebagai prioritas dalam hidup.
Rasanya, keinginan untuk dapat menjalani gaya hidup sehat masih kalah dibanding dengan ambisi mencari jati diri, sedikit berontak, mengejar cita-cita dan prestasi.
Tapi, berkat campur tangan tuhan, diri yang tak memiliki catatan bersua penyakit, lalu diuji dengan sebuah penyakit asam lambung atau bahasa kerennya gastroesophageal reflux disease (GERD) yang (sungguh) membutuhkan waktu lama pulih.
Dari situlah, pikiran kemudian bergulat sehingga mengubah mainset yang dulunya masih seperti seorang anak kecil dalam memaknai kata "jangan" yang justru sering kali diartikan sebagai "tantangan." Berubah menjadi memaknai kata "tantangan" sebagai suatu "kekuatan."
Titik Balik
Mau tak mau, dalam proses perjalanannya, seperti yang kebanyakan orang-orang ungkapkan: segalanya  terlupakan, ibadah kurang, makan sering telah (kalaupun makan, makanannya sembarang), olahraga jarang-jarang (tapi ego tetap ingin olaraga berat).Â
Alhasil diingatkan oleh kondisi tubuh yang mulai drop, sebagai alarm saya akan sakit.
Kala banyak orang menyesali ketika sakit, bagi saya, hal itu nyaris tak ada. Kenapa? Karena sakitlah yang menjadi awal dari titik balik saya dalam dalam hidup, atau yang biasa dikenal masyaraka dengan kata Hijrah (dalam hal ini, hijrah berarti berpindah dari gaya hidup tak sehat, ke gaya hidup sehat aktif).
Selama sakit hampir tak ada kegiatan yang bisa dilakukan (boro-boro bisa menyusun langkah-langkah mewujudkan mimpi), ketika ingin berpikir saja mood nyaris tak ada, Sehingga dipikiran hanya menyisahkan satu kata yaitu: sembuh.