Padahal, saat itu bisa saja membeli buku bajakan dengan harga dibawah standart. Namun, diri pun tetap pada pendirian, tak tergoda sedikit pun.
Walau saat itu penolakan membeli buku bajakan hanya berkutat pada alasan sederhana seperti perkara kualitas, perkara kenikmatan, serta perkara kenyamanan. Kepedulian pun, rasanya telah berkembang seiring waktu. Â
Moment kepedulian terhadap maraknya buku bajakan, ialah saat diri pribadi mulai menyukai aktivitas menulis dan ada salah satu karya yang ambil oleh pihak lain tanpa izin.
Saat itulah diri merasakan bagaimana geramnya para penerbit & penulis yang berkeringat menghasilkan buku populer, kemudian karyanya dibajak oleh orang lain.
Ironinya, disaat buku dapat menganugrahkan hidup manusia kepada ilmu pengetahuan dan kemakmuran. Disaat itu pula sang empu buku, yang meriset karya, melakukan studi langsung, maupun susah payah memikirkan cerita diambil haknya. Sungguh tidak adil, bukan?
Sebuah Harapan
Seiring dengan dipermudahnya oleh teknologi, kini, membeli buku tak harus melangkah jauh sembari berpanas-panasan menuju toko buku. Tinggal buka website atau aplikasi penerbit, cari buku yang diinginkan, masukkan keranjang, pilih metode pembayaran. Dan terakhir, buku pun siap dikirim, sehingga empunya pesanan cukup menunggu dengan tenang di rumah.
Itulah kemudahan yang diri pribadi rasakan akhir-akhir ini. Pembelanjaan terakhir diri pribadi, kalau tak salah ingat ialah membeli dua buku (Animal Farm & 1984)Â karya dari Geogre Orwell via Website dari penerbit Mizan (mizanstore.com).
Jangankan generasi sekarang, generasi dahulu saja begitu cekatan ber-ide ketika merasa ada yang mengambil keuntungan dari buih-buih keringat rakyat, seperti yang dicerita oleh Alfred Russel Wallace dalam bukunya "kepulauan Nusantara," terkait Raja Sasak (Lombok) yang geram ketika dicurangi oleh bawahannya terkait upeti yang diterima.