Kala negara maju mampu memandang korupsi sebagai bahaya laten yang perlu diperangi. Uniknya, malah negeri ini yang berstatus sebagai negara berkembang (atau populer dengan istilah ber-flower) justru menganggap upaya korupsi sebagai upaya paten menyuap musuh, menjamin kawan, membangun kejayaan dan menelurkan keseimbangan politik. Sungguh sesuatu hal yang ironi, bukan?.
Bagaimana tidak, kemajuan negara maju dalam memberantas korupsi patut diacungi jempol. Bahkan, menurut Pengantar dari Rimawan Pradiptyo (pendidik) yang turut menggoreskan pendapatnya di buku "Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia, dari Deandels (1808 -- 1811) sampai era Reformasi."Â
Ia mengungkap "Negara seperti Skandinavia misalnya, setiap warga Negara dapat mengetahui pendapatan dari setiap pejabat melalui website, lihat juga upaya Hongkong dan Singapura yang berjuang puluhan tahun melawan korupsi di negerinya."
Tak berhenti sampai situ, ia pun menambahkan bahwasanya kita juga telah banyak menyaksikan bagaimana pejabat di Jepang segera mengundurkan diri kala terlibat kasus korupsi. Bahkan, perdana menteri Islandia segera mengundurkan diri saat namanya tercantum dalam Panama Papers (6 April 2016).Â
Melalui fenomena di atas kita pun dapat menarik kesimpulan bahwa di negara-negara maju sudah sedemikian sadar akan bahaya korupsi.
Lantas bagaimana dengan Indonesia?Â
Pertanyaan ini rasanya tak perlu dijawab, karena kebanyakkan orang sudah sama-sama tahu, bahwa orang yang mendapat status terdakwa korupsi dan sudah mendapat hukuman penjara saja masih dapat berkeliaran kesana-kemari, mendapat fasilitas nomor satu di lembaga pemasyarakatan (alias penjara), serta saat bebas, mereka pun dapat kembali mengikuti kontestasi untuk mendapatkan kembali gelar politikus di depan namanya.
Ada yang mengatakan korupsi di Indonesia sudah sedemikian membudaya. ada pula yang mengatakan korupsi di Indonesia ialah prihal biasa saja. serta ada pula yang mengatakan korupsi di Indonesia belum terlihat adanya sense of crisis ataupun sense of urgency. Atau, kiranya kasus korupsi di Indonesia masih kalah dominan dibanding urgensi isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).Â
Hal itu terbukti dengan sekalinya muncul isu terkait Rancangan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) baru-baru ini (september 2019), malah hal itu patut diduga secara diam-diam terbahas, kemudian sekarang sah menjadi undang-undang.
Hal inilah yang membuat KPK (yang terkenal mandiri & independen) sebagai ujung tombak penegakan korupsi dibuat tak mampu berbicara banyak, dilemahkan, hingga dibuat mati suri.
Makanya, jangan heran bila kedepan banyak terlihat seorang bawahan malah dapat menjamu lebih mewah (tak sesuai pendapatan)Â atasannya. Kondisi ini jelas mirip-mirip dengan kondisi di era kolonial. fakta tersebut terungkap dari kolom yang ditulis di majalah TEMPO (1979) oleh Ong Hok Ham berjudul "Pungli dalam Sejarah Kita."
Ia menuturkan bahwasanya "Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu rajanya secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak dapat meremehkan para abdi dalem keratin tertinggi, juga para menteri, bahkan para pangeran, sebab penghasilannya jauh lebih melebihi penghasilan mereka -- dan mereka semua berutang padanya."
Realita tersebut, rasanya tak perlu lagi berlarut-larut menjadi pemandangan suram untuk masa depan bangsa ini. Boleh saja (sekali lagi) KPK dapat mengungkap banyak kasus korupsi yang sampai Desember 2018 ini, KPK menerima 6.202 laporan masyarakat (sekalipun, dari 6.143 yang telah diverifikasi, hanya 3.990 laporan berindikasi tindak pidana korupsi, selebihnya sebanyak 2.153 bukan laporan yang berindikasi tindak pidana korupsi).
Tetap saja, hal tersebut bukanlah suatu prestasi. Betapa tidak, bicara keberhasilan penegakan korupsi itu, bukanlah berapa banyak kasus korupsi yang berhasil diselesaikan KPK. Terlebih, kepada berkurangnya kasus korupsi dari waktu ke waktu, hingga sama sekali tak ada aparatur negara yang melakukan tindak pidana korupsi.
Salah satu caranya, selain menguatkan KPK, ialah dengan mulai menanamkan budaya pentingnya rasa malu kepada masyarakat. Bisa berbentuk himbauan, dijadikan kurikulum anti korupsi, sosialisasi, memanfaatkan ragam medium kreatif seperti film maupun musik.
Untuk itu, tak ada salahnya bagi kita untuk mengadopsi budaya, baik dalam maupun luar negeri yang mengandung makna akan pentingnya rasa malu. Inilah beberapa diantaranya.
Ritual Seppuku (Jepang)
Ritual Seppuku atau yang kini dikenal dengan Hara-kiri aka bunuh diri, tentu sudah ada semenjak masa Samurai. Ritual ini dilakukan jika ada seorang Samurai yang gagal dalam misinya, melakukan kesalahan, memberontak, atau merugikan orang lain.
Menariknya, dari ritual inilah (kebanyakkan)Â masyarakat Jepang paham, bahwa hidup harus memiliki budaya malu yang tinggi. Hal tersebut tak hanya berlaku bagi para Samurai saja, bagi rakyat Jepang pada era kekinian pun, tradisi memiliki budaya malu sudah sedemikian dibentuk.
Itu semua dapat disaksikan kala salah mereka menemukan kegagalan. Saat gagal, mereka menanggalkan egonya. Saat gagal, mereka berani melepas jabatannya. Bahkan saat gagal nyawa pun bisa hilang dari raganya. Lalu, adakah ritual serupa di Indonesia?
Ritual Puputan
Kala Masyarakat Jepang Mengenal ritual Seppuku yang tujuan dari tradisi tersebut ialah untuk mengegolarakan semangat tahu malu, maka di Indonesia pun ada juga ritual yang secara bentuk agak berbeda, namun memiliki makna yang sama, ritual tersebut bernama puputan.
Lengkapnya, salah satu peristiwa puputan bisa didapat kala membawa Cerpen dari Iksaka Banu yang berjudul sama dengan buku "Semua Untuk Hindia."Â Pada cerpen yang mengambil latar kejadian perang puputan yang diawali oleh Invasi Belanda di Bali di tahun 1906.
Alkisah perang ini terjadi karena penolakan raja membayar denda pada pemilik kapal, yang kebetulan warga Hindia, dianggap pembangkangan terhadap gubernemen yang telah bertekad menyelesaikan lewat jalur hukum.
Belanda pun kemudian menyerang sehingga pihak kerajaan Badung terdesak dan tak lagi kuat. Opsi-pun muncul, untuk menjaga harga diri, Raja beserta rakyatnya melakukan ritual puputan dengan menuju kearah musuh untuk berperang sampai titik darah penghabisan.
Sedikit gambaran akan peristiwa ini turut diulas oleh Iksaka Banu, ia mengungkap "rombongan indah ini tampaknya memang menghendaki kematian. Setiap kali satu deret manusia tumbang tersapu peluru, segera terbentuk lapisan lain di belakang mereka, meneruskan maju menyambut maut."
Ia pun menambahkan "Seorang lelaki tua, mungkin seorang pendeta, merapal doa sambil melompat ke kiri -- kanan menusukkan kerisnya ke tubuh rekan-rekannya yang sekarat, memastikan agar nyawa mereka benar-benar lepas dari raga. Setelah itu ia membenamkan keris ke tubuhnya sendiri. Kurasa ini malapetaka terburuk dalam hidup semua orang yang ada disini."
Tak lupa, pada peristiwa itu pula, para wanita yang berada dalam barisan pun sengaja melempar uang kepeng atau perhiasan sebagai tanda pembayaran bagi serdadu Belanda yang bersedia mencabut nyawa mereka. Benar-benar heroik, bukan?
Maka dari itu, diri pribadi (tak bosan-bosannya) mengingatkan bahwa bangsa ini sesungguhnya sudah menanamkan bagaimana pentingnya memiliki rasa malu. Mulai dari Raja hingga Rakyatnya, semua senada mempertahankan kehormatan hingga tetes darah penghabisan.
Budaya Siri Na Pacce
Melirik kondisi Indonesia yang sekarang memiliki elit-elit politik yang jiwa kepemimpinan cukup diragukan. Sekalipun mereka dipilih langsung oleh puluhan ribu rakyat Indonesia lewat lajur pemilihan umum (PEMILU), tetap saja hal-hal seperti kasus korupsi, jual beli jabatan, hingga suap-menyuap membuat kebanyakkan orang malu menyebut mereka seorang pemimpin.
Merespon hal tersebut, jika tak ada langkah pencegahan, maka kondisi yang sama, akan terlihat kembali pada beberapa tahun yang mendatang. Untuk itu, sudah selayak bangsa Indonesia mulai membentengi diri dengan falsafah positif asli nusantara bernama Siri Na Pacce.
Falsafah ini kiranya telah dipegang teguh oleh masyarakat di Sulawesi Selatan, khususnya etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
Siri' yang berarti rasa malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti : pedih atau pedas (keras, kokoh pendirian). Atau dengan kata lain, Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan orang lain.
Bagi mereka yang menganut falsafah ini, mereka menjadikannya sebagai landasan berpikir, merasakan, bertindak, serta melaksanakan aktivitas untuk menjadi sebaik-baiknya manusia (ialah manusia yang bermanfaat)Â dalam masyarakat.
Oleh karenanya, antara siri'Â dan pacce'Â keduanya saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan antara yang satu dari lainnya.
Bisa dibayangkan jika budaya ini dijadikan acuan dasar dalam mendidik generasi muda. Bukan hanya generasi muda yang anti korupsi saja yang dihadirkan. Tetapi, reinkarnasi sesosok pemimpin layaknya Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, tak lagi perlu menunggu ribuan tahun untuk dihadirkan dalam era kekinian.
***
Ketiga hal diatas, setidaknya membuktikan bahwa masih ada di belahan dunia maupun bumi nusantara yang setidaknya mengedepankan prinsip pentingnya memiliki budaya malu. Maka dari itu, dalam memberantas korupsi, kiranya langkah pencegahan seperti koruptor di miskinkan, dicabut hak politiknya, maupun dibuat malu, sungguh diperlukan.
Namun, lebih penting lagi ialah melakukan langkah pencegahan agar memutus rantai korupsi dengan menggalakkan pendidikan anti korupsi sedini mungkin, mulai dari bangku sekolah dasar, hingga bangku perkuliahan, yang hal-hal didalamnya turut mengenalkan budaya luar maupun dalam negeri seperti yang disebutkan diatas.
Kenapa? Karena dalam institusi pendidikan-lah kita percaya bahwa pendidikan mampu mencerdaskan anak bangsa, sembari terus berdoa agar pemerintah turut menguatkan lembaga independen seperti KPK dalam memberantas korupsi (bukan melemahkannya).  Semangatt..
"Uang mungkin disumbangkan, batu dan kapur mungkin dapat dibeli, tukang gambar bisa dibayar untuk membuat rencana, dan tukang batu mungkin dipekerjakan untuk memasang batu -- tapi iman yang hilang dan masih dihormati, yang melihat puisi dalam bentuk marmer, yang tegak di sana sebagai doa abadi yang terus menerus dan tak tergoyahkan, tidak bisa dibeli dengan uang. -- Multatuli dalam buku Max Havelaar." Â
Referensi Buku:
- Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia | Peter Carey
- Wahyu Yang Hilang, Negeri yang Guncang| Ong Hok Ham
- Max Havelaar | Multatuli
 Artikel:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H