Bahkan jika ditarik ke masalah penegakkan korupsi di era kekinian, problem pemberantasan korupsi, entah mengapa selalu kerap kandas karena ketiadaan restu politik.
Ada lembaga yang independen, malah kemudian dilemahkan. Ada contoh pejabat di negara maju yang mengundurkan diri setelah diketahui korupsi, malah kemudian para koruptor (di negara ini) cenderung tutup telinga. Ada politikus yang susah payah ditangkap, pas tertangkap, malah kemudian hobi keluyuran dan menikmati fasilitas nomor satu di hotel prodeo (penjara).Â
Jika kita sebagai genarasi penerus bangsa tetap memaklumi hal seperti diatas, maka jangan salahkan jika dibeberapa tahun ke depan Indonesia bisa benar-benar bubar di 2030, (seperti ramalan yang pernah diungkap seorang jenderal pada pemilu presiden yang lalu).Â
Jika Inggris Butuh 150 Tahun Memberantas Korupsi, Lalu Indonesia?
Membandingkan Indonesia dan Inggris itu ibarat kata, antara langit dan bumi ,alias sangat jauh. Tetapi, jika negara ini berani meminjam cara jitu dari Inggris dalam memberantas korupsi.
Paling tidak, pengalaman Inggris yang membutuhkan waktu selama 150 tahun, dapat membuat negeri ini belajar dalam memberantas korupsi dengan lebih cepat.
Alkisah, kondisi di Inggris pada saat itu cukup akrab dengan praktek korupsi. Ada penyuapan oleh tuan tanah, pejabat titipan, politik uang, penyeludupan barang mewah dan lain sebagainya, membuat Inggris yang pernah terkenal berjaya dengan militer, hancur lebur diterjang badai korupsi.
Beruntungnya, Inggris dapat bangkit. Kebangkitan Inggris dalam melawan korupsi itu diawali oleh nuansa ketakutan dan kekhawatiran atas hancurnya Inggris sebagai sebuah Negara. Sehingga, solusi yang kemudian muncul dan disebut oleh Peter Carey sebagai cara jitu menanggulangi korupsi ialah:
Pertama, pelibatan sektor swasta untuk menjalankan fungsi layanan publik. "Seperti bea cukai yang terus dikelola swasta -- atau seperti Bank of England yang sejak 1694 di bawah pengawasan komisaris yang ditunjukkan parlemen. (hlm. 58)"
Kedua, pembentukan lembaga pengawas negara keuangan negara, yang mana tugasnya mengawasi belanja dan neraca departemen keuangan (HM Treasury), selebihnya berhak memanggil menteri dan pejabat senior untuk memeriksa keuangan mereka.
Ketiga, reformasi kehakiman, dan meningkatkan upah pegawai negeri sipil termasuk hakim peradilan secara substansial. Hal ini mulai dilakukan dari tahun 1645, ketika itu kenaikkan gaji hakim senior bisa mencapai 500%. "Dengan begitu dampaknya pun cukup signifikan kepada kejujuran kehakiman Inggris akhir abad 17. (hlm 59)"