Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyoal Korupsi di Indonesia Lewat "Kacamata" Sejarawan Inggris

29 September 2019   04:10 Diperbarui: 29 September 2019   15:04 3419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengesahan Rancangan undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi UU oleh DPR-RI, jelas memunculkan kekecewaan yang mendalam bagi masyarakat Indonesia.

Betapa tidak, KPK yang sejatinya dikenal sebagai lembaga independen, mandiri, serta menjadi senjata utama melawan korupsi di negeri ini, seakan dibuat tak bernapas, kehilangan taringnya, hingga mati suri. Itulah mengapa gelombang penolakan terkait UU tersebut, masih bergelora hingga hari ini.

Beberapa poin seperti pelemahan lewat Revisi UU KPK dari sisi penanganan perkara (penyidikan, penyadapan, hingga operasi tangkap tangan) yang ditentukan oleh Dewan Pengawas KPK yang berada di luar KPK.

Dan hal yang paling menghebohkan lainnya, ialah terkait pemilihan pimpinan KPK yang visi-misinya cenderung mendukung pelemahan dari institusi yang lahir lewat rahim pemerintahan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri.

Padahal, bukan rahasia umum jika yang harus diubah itu bukanlah UU KPK, karena sesungguhnya UU Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang justru memiliki urgensi  untuk diubah karena (terasa) ketinggalan zaman.

Hal ini sungguh anomali, di saat negera maju menganggap korupsi sebagai bahaya laten yang perlu diperangi. Entah mengapa di negeri yang kita cintai ini, korupsi masih mendarah daging bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang terlampau biasa saja (mungkin karena korupsi sudah lumrah di masyarakat).

Buku Korupsi dalam silang sejarah Indonesia/ dethazyo
Buku Korupsi dalam silang sejarah Indonesia/ dethazyo
Namun, jika ingin menelusuri mengapa sikap pemangku kebijakan yang (terlalu) lemah dalam menangani korupsi (bahkan mau melemahkan KPK), maka tak salah lagi buku berjudul "Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: dari Daendels (1808 -- 1811) sampai era Reformasi" karya dari sejarawan Inggris, Peter Carey, bisa menjadi bacaan wajib.

Guna sejenak mencari tahu, sejenak menerka, serta sejenak mempelajari bagaimana korupsi dapat berkembang hingga hari ini.

Mencari Defenisi Korupsi
Membaca buku ini, jelas membuat diri pribadi diberi kebebasan berkendara mengakses informasi terkait korupsi yang sudah menjangkiti bumi nusantara sedari dulu, mulai dari era Deandels hingga era reformasi.

Efeknya, siapapun yang membacanya dapat menyimpulkan artian dari korupsi itu sendiri. Yang seperti pepatah Prancis: Plus a change, plus c'est la meme chose (semakin berubah semakin tetap sama). 

ragam defenisi korupsi/ dethazyo
ragam defenisi korupsi/ dethazyo
Ada yang mengatakan korupsi itu sebuah penyakit kronis yang berdampak fatal di bidang ketatanegaraan, hukum, birokrasi, pendidikan, kemasyarakatan, dan lain-lainnya.

Ada juga yang mengatakan korupsi adalah bagian dari tindakan yang mungkin telah ada setua peradaban manusia itu sendiri. Serta ada pula yang berucap korupsi menyangkut penyelewengan jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun