Jikalau sekelas World Health Organization (WHO) saja telah memberi label mengenai keragu-raguan seseorang dalam memilih vaksin sebagai 10 ancaman terbesar kesehatan global di tahun 2019.Â
Maka jelas, isu tersebut yang bersanding dengan ancaman kesehatan lainnya, seperti HIV, Polusi Udara, serta demam berdarah, sudah tentu memiliki urgensi yang sangat tinggi guna diperangi.
Betapa tidak, kejadian ini tak hanya terjadi di berbagai belahan dunia saja, karena ternyata di Indonesia-pun hal tersebut (kembali) bergelora. Ada yang mengatakan bahwa penganut anti-vaksin menggelorakan penolakan karena suatu bentuk atas protes kepada perusahaan farmasi besar.Â
Ada yang beranggapan bahwa vaksin terbuat dari bahan yang tak alami (ke-halalannya diragukan) alias tak aman, serta masih saja ada orang yang tetap setia dengan pandangan lama, bahwa sejatinya vaksin telah mencampuri urusan tuhan akan takdir, sehingga diragukan oleh agama.
Kusus yang terakhir, jika ditelusuri, euphoria anti-vaksin ternyata tak hanya hadir pada beberapa bulan ke belakang saja.Â
Saat memutar lebih jauh ke belakang, kiranya ketika ibu kota (Jakarta) masih menjadi Batavia (dan Indonesia saat disebut Hindia Belanda), orang-orang dengan label anti-vaksin turut hadir dalam kehidupan.Â
Uniknya, kebanyakkan bukan dari pribumi, terlebih dari mereka yang menyebut diri sebagai orang Eropa maupun mestizo (mereka yang keturunan campuran).
Hal itu didapat kala membaca kumpulan cerpen dari Iksana Banu yang dijadikan sebuah buku berjudul, "Teh dan Penghianat." Dalam buku tersebut, terdapat satu cerpen yang senantiasa masih relevan dengan yang diulas sedari awal di atas, yaitu perihal anti-vaksin.
Saat itu, terhitung mulai dari Ternate, Ambon, dan Bali yang disinyalir menjadi daerah yang paling banyak kehilangan jiwa. Di Bali saja angka kematian sampai menyentuh 18.000 orang menjelang akhir tahun 1871.
Sebagai solusi, satu-satunya cara agar wabah dapat teratasi ialah dengan pengiriman vaksin dari Belanda yang tentu saja akan memakan waktu yang banyak, sehingga takkan mampu menghadap laju dari wabah di Bali.
Oleh karenanya, vaksin-pun mulai diproduksi di Hindia baik Madiun, Kedu, serta Kediri. Namun karena sudah kandung urgensi, mau tak mau, upaya pencegahan haruslah disegerakan.Â
Solusi lainnya yang keluar ialah berupa mencari anak yatim piatu di Batavia, lalu setelahnya membawa mereka ke Bali dan diperjalanan, tubuh mereka akan dimasukkan vaksin agar bisa dipanen untuk banyak orang, supaya kebal dan segera bangkit menaklukkan penyakit.
Ironinya, baru ditataran rencana saja, pihak panti asuhan sudah membentengi diri dengan penolakan sembari berujar "sadarkah, bahwa disini tuan sebenarnya sedang berusaha mencampuri urusan tuhan? (hlm 51)"Â
Jawaban itu tentu sudah akrab di telinga kala ada mereka yang anti-vaksin mencoba mengeluarkan pendapat (sekalipun bisa didebatkan lebih dalam).
Seperti itulah kiranya penolakan dari dulu hingga kini. Anehnya, saat ilmu kedokteran telah berkembang pesat, senada dengan itu, gelora anti-vaksin ikut-ikutan berkembang (Maka pantas saja kita WHO menjulukinya sebagai 10 ancaman terbesar kesehatan global tahun ini).
Menjawab hal itu, maka sudah semestinya pendapat dari pendiri Rumah Vaksin dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) dihadirkan (seperti yang dilansir detik.com), ia menegaskan bahwa vaksinasi adalah metode pencegahan penyakit yang terbukti keamanan dan keefektifannya.
Ia pun turut mengungkap pandangannya terkait gerakan anti-vaksin, ia berkomentar "Seruan anti vaksin bukan main-main bisa bikin wabah bermunculan ke mana-mana. Kalau orang tua yang galau ini sampai 40 persen dari populasi wabah bisa bangkit kembali."
Darinya, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya vaksinasi sangatnya membantu dalam hal dunia kesehatan.Â
Kenapa? karena sesungguhnya vaksinasi bisa menyelamatkan banyak jiwa, menghemat biaya kesehatan, dan tentu saja, dari pengalaman telah membuktikan bahwa vaksinasi (proses pemberian vaksin untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu)Â sudah aman.
Vaksinasi Selamatkan jutaan jiwa Anak-Anak dari Pneumonia
Bahkan, badan kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) turut mengungkap bahwa bahwa penyakit yang dikenal sebagai infeksi yang terjadi pada paru-paru yang dikarenakan adanya cairan pada alveoli atau kantung udara pada paru, tempat untuk pertukaran oksigen dengan karbondioksida ini, telah menjadi pemicu 16% kematian anak-anak berusia di bawah 5 tahun.
Hal itu dapat dilihat pada data tahun 2015 saja, sudah terdapat lebih dari 900.000 anak-anak yang meninggal akibat pneumonia. Di nusantara pun pada tahun 2017, lebih dari 500.000 balita menderita pneumonia, hingga menyebabkan hampir 2.000 jiwa balita meninggal dunia.
Jika tidak ada upaya yang berarti, penyakit dengan ciri-ciri penderita mengalami sesak napas, batuk berdahak, demam menggigil, nyeri bagian kepala, mudah lelah disertai sakit kepala ini, maka dapat dipastikan jumlah penderita akan semakin membengkak seiring waktu.
Saat ditelusuri, salah satu sumber dari penyakit radang paru-paru ini, ialah polusi udara yang termasuk, kurangnya sirkulasi udara dalam rumah, serta polusi yang disebabkan oleh paparan asap rokok.Â
Itulah mengapa sebaiknya bagi para orangtua, untuk tidak merokok didekat anak atau balita, sehingga anak pun bisa terbebas, dari paparan asap rokok.
Oleh karenanya, orangtua-pun (terutama ayah)Â harus serba aktif mengatasi berbagai masalah kesehatan anak, agar kuman penyebab pneumonia tak tertular melalui udara, percikan air ludah, bersin, maupun benda yang terkontaminasi percikan.
Selain itu, orangtua sudah seharusnya berhenti memberikan makanan tak sehat pada anak, karena ketika sang anak memiliki label sebagai penderita gizi buruk, penyakit pneumonia akan semakin menunjukkan taringnya.
Sedangkan pasien pneumonia dengan gejala yang parah, sangat perlu ditempatkan dalam ruang perawatan intensif dan dipasangkan alat bantu pernapasan atau ventilator.
Tentu tak ada orangtua yang ingin anaknya berada di kondisi seperti di atas. Untuk itu, sebelum pneumonia hadir, sudah sebaiknya para orangtua untuk melakukan langkah pencegahan, karena seperti kutipan bijak "mencegah lebih baik, daripada mengobati."
Pencegahan dapat dimulai dengan cara meningkat sistem kekebalan tubuh pada anak, hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama (guna membangun benteng kekebalan tubuh alami).
Disamping itu, diharuskan pula kepada para orangtua dan anaknya untuk sesegera mungkin menjaga kebersihan dengan cara paling sederhana seperti cuci tangan dengan sabun.Â
Pastikan setiap selesai bermain atau berpergian kemana-mana (para orangtua), paling tidak, bilas dulu tangan dengan sabun, sehingga Anda sekeluarga terhindar dari penyebaran virus atau bakteri penyebab pneumonia.
Terakhir dan yang paling penting (serta diulas paling awal), menjalani vaksinasi. Hal ini sangatlah penting dikarenakan Vaksin merupakan salah satu langkah agar terhindar dari pneumonia. Sekalipun vaksin PCV belum masuk program vaksin wajib dari pemerintah.
"Laporan dari berbagai negara, terutama negara maju, seperti Amerika, kejadian pneumonia turun hampir 90 persen setelah pemberian vaksin PCV,"Â ungkap Cissy.
Segala bentuk ketakutan berupa vaksinasi tak aman, bahan-bahan yang digunakan untuk vaksin tak alami, atau menganggap vaksinasi ialah langkah mundur.Â
Maka jelas, anggapan ini harus diubah, karena vaksinasi sudah jelas aman. Sembari tetap membiasakan kepada anak hidup sehat, hindari anak dari polusi udara, serta hindari asap rokok.
Guna melengkapi perlawanan dalam menyuarakan stop pneumonia pada anak, mari kita tutup ulasan ini dengan bersuara keras melantunkan sepenggal lirik dari Mr. Big "I can make you start to smile." Semangat...
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H