Meski mendapat penolakan, akhirnya solusi ini bisa menjadi bukti bahwa orang-orang kulit putih tak melulu menjajah, tetapi ada rasa kemanusiaan tinggi dalam dirinya.
Kelima (dan terakhir), perkara perjuangan. Hal ini dijelaskan dengan apik dalam cerpen (yang sama dengan judul buku) "Teh dan pengkhianat."Â Diceritakan disini kita akan melihat kontradiksi bahwa yang berjuang dalam hal melawan kemunafikan ialah buruh-buruh dari Cina.Â
Mereka melakukan pemberontakan didasarkan karena dua pokok, gaji yang jauh dari kesepakatan dan tentu saja karena kekejaman pemimpin yang kerap menghukum berlebihan.
Uniknya, justru pemerintah Hindia Belanda, pada saat ini justru memanfaatkan orang Indonesia yang cukup terkenal untuk memukul mundur laju pemberontakan.Â
Tokoh yang digunakan jasanya ialah Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan jenderal perang dari Diponegoro. Menurut diri pribadi, disinilah letak berwarnanya sejarah, siapa yang benar dan siapa yang salah (sekali lagi)Â hanya urusan sudut pandang dan kepentingan.
Rasanya kelima cerpen tersebut, dapat memberikan gambaran bahwa Iksaka Banu sungguh serius dalam menyelipkan pemahaman bahwa sejarah itu sungguh menarik jikalau dipelajari dari banyak sisi (yang tak cuma hitam putih, tetapi berwarna).Â
Setali dengan membaca habis buku ini, selipan keinginan agar karya-karya berikutnya cepat dirangkumkan (bila perlu dibukukan), agar orang-orang (terkhususnya diri pribadi), dapat mempelajari, dapat mencari tahu, dan dapat bernostalgia akan sejarah-sejarah masa lalu, yang sudah sedemikian menarik diulas oleh sang penulis. Jadi, selamat berkarya bung Iksaka Banu.
Detail
Judul Buku: Teh dan Penghianat
Penulis: Iksaka Banu
Terbit & Cetakan: April 2019
Penerbit: (KPG) Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah Halaman: 164
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H