Sudah menjadi hak manusia untuk memutuskan setuju atau tidak setuju akan suatu hal. Termasuk dalam mencari sesosok yang menginspirasi dalam kehidupan. karena kadang kala apa yang kita sukai, di orang lain belum tentu. Hal inilah yang dirasa oleh diri pribadi saat memunculkan kembali nama dari Ahmad Wahib ke permukaan.
Melalui pemikiran-pemikirannya yang terkenal berani dalam membedah sesuatu (terutama prihal agama), sehingga pemikirannya disukai sebagian orang, dan tak jarang pula ada yang tak sepaham dengannya, sampai-samapai mereka pun memberi label sesat pikir dan sok tahu pada sosoknya.
Sekiranya, itulah yang saya dapat, kala membaca (kembali) catatan-catatan harian dari Ahmad Wahib (dari tahun 1969-1973) yang oleh teman-temannya (Djohan Effendi & Ismed Natsir), dirangkum menjadi sebuah buku yang berjudul "Pergolakan Pimikiran Islam." Sekalipun Ahmad Wahib yang empunya catatan sudah hilang dari panggung utamanya didunia, tepat pada 31 Maret 1973  dengan usia yang masih sangat muda, 30 tahun yang lalu, tertabrak oleh sepeda motor kecepatan tinggi, saat pulang dari kantor Tempo.
Lahir dari rahim seorang keluarga santri yang teguh dalam beragama di Sampang Madura, pada 9 November 1942. Bahkan, ayahnya mengemban status sebagai seorang kiai pimpinan salah satu pondok pesantren disana. justru, tak membuat ayahnya membatasi prihal pergaulan dan pendidikan anaknya.
Malah, olehnya, Wahib diizinkan mengenyam pendidikan di bangku sekolah umum, dan setelahnya melanjutkan kuliah, merantau dari Madura menuju Yogyakarta mengambil studi di fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam Universitas Gajah Mada.
Disinilah wahid tak sekedar kuliah, karena disitu ia turut pula membangun pengalaman berorganisasi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berkat keaktifannya di organisasi, ia dan teman-temannya menggagas forum diskusi bernama "Lingkaran Diskusi Limited Group." Yang dihuni pula oleh nama besar lain seperti  Muhammad Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Mukti Ali, dan lainnya.
Rata-rata topik yang dibahas pun meliputi teologi, kebudayaan, politik, pendidikan dan proses pembaharuan pemahaman islam. Menariknya, dari beberapa diskusi, ia turut merekam pemikiran-pemikirannya melalui catatan harian yang mengindikasi, dirinya begitu giat menghadapi pergulatan pikiran dalam proses pencariannya akan kebenaran.
Itulah kesan saya akan Ahmad Wahid. Selebihnya karena pendapat inilah yang menuntun saya pertama kali menuju gerbang karyanya. "Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim."
Sangking menariknya pola pikir ini, saya yang sedari dulu tak begitu tertarik dengan pergolakan pemikiran (apalagi prihal agama), sampai meluangkan waktu untuk sejenak mengambil jeda, mempersiapkan waktu, dan membedah karyanya (catatannya) satu demi satu.
Terkait kutipan terkenalnya, tak hanya membuat saya saja yang takjud, bahkan Abdurrahman Wahid sekalipun sampai-sampai mengungkap kekagumannya yang terbitkan oleh Tempo (19 September 1981), dengan mengungkap, alangkah mulianya pribadi Ahmad Wahib, dan alangkah sempurna kemuslimannya, bak tukang batu yang menghantam palunya ketembok guna menguji kekuatan dan daya tahan tembok tersebut.
Hal itu wajar saja, mengingat semasa hidupnya, Ahmad Wahid selalu memunculkan pandangannya secara jujur serta panjang lebar dari jendela agama yang diyakininya. Sekali lagi, ia memang mengkritik Islam itu sendiri, tapi, bukan dalam konteks ajaran, melainkan dalam hal penafsiran, atau kelakuan sebagian orang Islam yang merasa (diri & agamanya)Â paling benar.
Bahkan kritikan tersebut, kiranya masih relevan hingga saat ini, yang mana agama digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai alat (strategi)Â dalam merebut kekuasaan. Ia pun tak segan-segan berucap "Walaupun kita mengatakan diri kita seorang sebagai penganut Islam, belum tentu bahwa pikiran kita telah berjalan sesuai Islam."
Terlepas dari pemikirannya yang menghasilkan pro ataupun kontra. Hal yang pasti, bagi diri pribadi, raganya boleh saja mati, namun karya tetap terjaga hingga hari ini, yang entah sudah mencapai cetakan keberapa. Maka dari itu, saya tak segan-segan memberikan label catatan harian ini sebagai buku yang layak dibaca oleh bibit- bibit generasi pembaru era kekinian, selain membaca "Catatan Sang Demontran" karya Soe Hok Gie, guna melatih skeptisme, menambah khazanah berpikir dan menghindari asbun (asal bunyi).
Akhir kata, biarkan pendapat Ahmad wahid yang ini sebagai penutup "Aku bukan Hatta, bukan Soekarno, bukan Sjahrir, bukan Natsir, bukan Marx dan bukan pula yang lain-lain. Bahkan... Aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus berproses menjadi aku."
"Aku adalah aku, pada saat sakratul maut!"
- Ahmad Wahib-
Detail
Judul Buku: Pergolakan Pemikiran Islam
Penulis: Ahmad Wahib
Terbit Pertama Kali: 1981
Penerbit: LP3ES
Jumlah Halaman: 405
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H