Salah satu ciri dari bulan Ramadan ialah terlihat dari mulai berseliweran orang-orang yang mempromosikan usaha dadakannya di-timeline media sosial (biasanya Instagram), baik berupa pakaian, makanan maupun kue-kue kering.
Menariknya, mereka ternyata tak seluruhnya hadir dari kalangan pengusaha saja, karena beberapa hadir dari kalangan teman sepermainan alias masih seumuran, yang tentunya sehari-hari tak ber-profesi sebagai pengusaha, dan kebanyakkan malah telah tercatat sebagai insan kreatif yang memenuhi kantor-kantor perusahaan rintisan (startup) di tanah air.
Setelah mengamati dan mencoba beberapa diantara produk yang dijajahkan. Diri pribadi langsung jatuh hati kepada produk makanan yang bernama Dendeng Badendang. Proses pemilihannya pun, tepat sebagaimana orang jatuh cinta, yaitu berawal dari mata kemudian jatuh ke rasa. Betapa tidak, produk satu ini begitu unggul dari lainnya, keunggulannya terlihat dari kreatifnya cara promosi, foto produk sampai packing-nya sudah terhitung mampu menarik hati para milenial.
Oleh karenanya, rasa penasaran pun meninggi, hingga berucap "lantas bagaimana dengan rasanya?" Itulah mengapa diri seakan terhipnotis untuk mencoba salah satu dari 4 varian (dendeng Kremes, dendeng balado, dendeng batokok, dan rending) yang bernaung dalam Dendeng Badendang. Pilihan jatuh kepada dendeng Kremes (75K). Kenapa? Karena yang menjadi rekomendasi dan digadang-gadang banyak dibeli orang ialah Dendeng Kremes, sebuah dendeng yang terbuat dari daging sapi kemudian diolah dengan cara disuwir serta terbalut dalam satu gairah rasa dari bumbu khas Minangkabau.
Benar saja, dendeng kremes yang dijajahkan sungguh membuat nagih, sesuai dengan namanya Dendeng Badendang, rasa dendeng kremes yang sedikit pedas mampu menari-nari (badendang) di lidah. Hal ini layaknya jatuh cinta yang tak hanya sekali tetapi berkali-kali. Hehehehe..
Kiranya, begitulah pengalaman dalam mencoba makanan ini. Kelezatan ala dendeng yang nikmat walau hanya bermodal nasi hangat saat berbuka dan sahur, menjadi dasar, kenapa harus meluangkan waktu lebih banyak untuk menggali, apa yang sebenarnya dipikirkan oleh empunya Dendeng Badengdang. Kenapa memilih bulan puasa sebagai awalan, pasar yang ingin disasar, suka duka berbisnis makanan, dinamika berbisnis dan lain-lain. Inilah penelusurannya.
Riscy Octa, Sosok dibalik Dendeng Badendang
Tanpa menunggu lama, karena memang pemiliknya ialah teman sepermainan semasa kuliah, sehingga membuat pria bernama lengkap Riscy Octa  (28 tahun) mudah ditemui. Seperti biasa, sosok dibalik Dendeng Badendang ini selalu santai diajak dibicara. Sehingga, membuat segala pertanyaan-pertanyaan langsung terjawab. Termasuk kala bertanya, bagaimana awalan terjun bisnis makanan.
Riscy, sehari hari bekerja disalah satu Startup multi-nasional (Grab Indonesia) dengan posisi sebagai art director yang tepatnya berada dibagian marketing. Itulah mengapa ia begitu paham walau sedikit, terkait bagaimana proses pengemasan dan mengurusi marketing dari Dendeng Badendang.
Baginya, Dendeng Badendang ini bukanlah sebagai ajang awalan terjun ke bisnis, karena pria lulusan dari Universitas Paramadina ini, sudah lebih dulu terjun ke bisnis dengan brand "Martabak Gahar"Â yang sudah memiliki 7 cabang.
Berhubung keinginannya untuk mencoba mengenalkan salah satu makanan Minang ke khalayak luas pada momentum bulan Ramadan, dengan dukungan dari segenap keluarga, termasuk tante-nya yang menjadi juru masak sekaligus pemilik restoran di Padang. Maka munculkan ide-ide untuk membuat produk dendeng dengan jargon "Baru Dipandang, Lidahlah begoyang."
Oleh karena itu, Riscy berdua dengan sang tante berbagi tugas. Tantenya berperan sebagai koki yang mengekplorasi rasa, dan riscy yang terjun untuk marketingnya. Mulai dari promosi, foto produk, mengatur keuangan dan sampai pengemasan satu persatu.
Kombinasi inilah yang membuatnya, tak mengeluarkan banyak biaya. Pertama, karena tak menyewa tempat. Kedua, karena tak membutuhkan banyak karyawan. Ketiga, karena paling modalnya hanya tersita pada bahan baku, pengemasan dan promosi saja.
Dalam memetakan keuntungan yang ingin diraih, Riscy tak muluk-muluk. Ia hanya berharap keuntungan dari penjualan Dendeng dapat membuat ibu dan tante-nya untuk naik haji. Selebihnya, bisa menjadi modal baginya untuk terus mengeklorasi ide-ide untuk membuat dan menyajikan produk yang disukai oleh masyarakat luas, hingga berlajut pada bulan-bulan setelah Ramadan.
Tanggapan positif dari orang-orang yang telah mencoba produknya, menjadi modal baginya untuk terus mencoba mempromosikan produk andalannya. baik lewat media sosial maupun lewat marketplace. Itu semua berkat kemajuan zaman yang mana orang-orang kalau ingin produk tak harus bertatap muka, tinggal mengunjungi lapaknya di sosial media ataupun marketplace. Produk dapat dibeli dengan beragam macam cara pembayaran yang mengandalkan fintect (financial technology). Mau transfer via ATM atau dengan Internet Banking sakalipun, semua tersedia.
Atas bisnisnya ini, Riscy pun mematri keinginan sederhana, agar bisnis makanan khas padang-nya dapat bersinar kembali di dunia makanan. Itu sudah lebih dari cukup. Sekalipun harus menghadapi fase jatuh bangun dalam berbisnis, dan seperti hal yang diungkap oleh Erich Fromm "supaya tahu kesabaran apa yang kita butuhkan, cukup dengan melihat anak belajar berjalan. Dia jatuh , jatuh lagi, dan jatuh lagi, tapi dia terus mencoba, makin bisa, hingga suatu hari dia berjalan tanpa terjatuh." Semangatt... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H