Setelah memutuskan untuk hijrah dari pecinta kopi ke penggila teh, langkah pertama yang dilakukan ialah sejenak mengenali rasa dan gairah yang ditawarkan keanekaragaman teh. Baik dari teh putih, hitam, hijau, oolong, hingga chamomile.Â
Entah tiap pagi sembari sarapan, sehabis makan siang, hingga menjelang terlelap, teh demi teh pun di coba (kebanyakan teh hitam). Biasanya dengan susunan: pagi hari, English Breakfast, siang hari, single origin Darjeeling dan malam hari sekaligus untuk relaksasi pikiran, teh yang di paling sering menjadi pilihan ialah Chamomile.
Tak disangka, kesukaan diri pribadi akan teh, mengawali langkah-langkah untuk lebih jauh mengenal seluk beluk tentang teh, kusus perkembangan teh di nusantara.Â
Oleh karenanya, dengan cara ajaib, saya akhirnya di pertemukan dengan buku setebal 440 halaman rekaan Hella S. Haasse berjudul "Sang Juragan Teh." Buku tersebut direka begitu apik oleh sang penulis dengan gaya fiksi yang bersumber dari surat-surat & dokumen-dokumen baik dari keturunan maupun kerabat dari Sang Juragan Teh, Rudolf Eduard (RE) Kerkhoven (1848-1918).
Alkisah, R.E Kerkhoven (yang merupakan salah satu perintis perkembangan teh di nusantara) baru saja menamatkan sekolahnya di pendidikan teknik di Delft, Belanda. Ingin segera melangkahkan kakinya ke Hindia Belanda untuk mengikuti jejak sang ayah dan beberapa kerabat yang membuka perkembunan di tempat tersebut. Perjuangannya ke bumi nusantara dapat dikatakan tak begitu mudah seperti sekarang (tinggal booking tiket via online dan langsung meluncur ke bandara). Betapa tidak, ia harus melakukan perjalanan laut yang panjang selama 107 hari dalam ruang-ruang yang sempit di geladak dari Belanda menuju Hindia.
Sesampainya di Hindia Belanda, Alih-alih ingin meneruskan usaha perkebunan yang di kelola oleh ayahnya di Arjasari, jawa Barat. Ia malah tak diizinkan oleh orang tuanya dan segara mencoba untuk magang di tempat pamannya di Parakan Salak, Jawa barat, dan kemudian setelah puas belajar, ia membuka lahan dan perkebunan sendiri di Gambung, Jawa Barat.
Walau begitu, rencana membuka lahan baru tentunya tak mudah. Ia harus berjuang membereskan lahan dari awal mula. Mulai dari membersihkan hingga menanam teh. Kegigihannya dalam berusaha membuat perkebunan teh miliknya berkembang sedikit demi sedikit, seraya mengamini apa yang pernah dikatakan oleh pamannya Eduard Kerkhoven:
 "Aku sungguh yakin bahwa perdagangan teh tidak bisa ditangani dengan cara idealis namun juga tidak dengan cara komersil semata, jika ingin berhasil -- yang kau butuhkan adalah ilmu pengetahuan." (hlm: 118)
Selain  itu, mau tak mau ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Mulai dari cuaca, adat istiadat, hingga bahasa. Setelah ia terbiasa seperti yang dituangkan dalam bait kalimat bebahasa Belanda "Ou peut-on esre mieux? (dimana lagi bisa mendapatkan yang lebih baik daripada ini?).
Jelas, kalimat itulah membuat lebih bersemangat menjalani rutinitas demi rutinitas di Gambung. Oleh karena kesendiriannya ia pun mencari sosok pendamping hidup. dan berjumpalah ia dengan Jenny Roosegaarde Bisschop, seorang perempuan yang masih keturunan Daendels (Mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808 -1811). Melalui perkawinannya dengan Jenny (sapaan akrab istrinya), ia dikaruniai 5 orang anak (Ru, Edu, Emile, Bertha, dan Karel).