Perjalanan tahun lalu ke Flores, tepatnya di Desa Doka, Kabupaten Sikka, NTT, mampu memberikan pengalaman yang berharga untuk seumur hidup. Kami tak sengaja diperkenalkan dengan Mahakarya Tersebunyi yang ditawarkan oleh sisi Timur Indonesia. Salah satunya yaitu menyaksikan langsung proses pembuatan kain tenun khas Sikka.
Sebagai awalan, perjalanan tersebut turut pula membawa serta cerita kurang menyenangkan, dilihat dari jaraknya yang cukup jauh hingga memakan waktu 2 jam perjalanan, jalanan rusak, tanjakan yang curam hingga jalanan yang berliku.
Maka kami rasa sudah tepat mengungkap jika pengalaman dapat terwakili oleh pribahasa,"berakit-rakit dahulu, Berenang-renang kemudian," dalam artian bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, mungkin hal tersebut yang mendominasi dipikiran, seraya menemukan alasan yang diungkap melalui lagu rekaan Switchfoot -- Love Alone Is Worth to Fight. "Why you're living and breathing / Why you're fighting it and getting it even/ Let's go headed down the open road unknown.."
Benar saja, sesampainya di tanah Doka, Mata dibuat takjub. Ramainya masyarakat telah terlihat dari kejauhan, seraya menanti kedatangan kami dengan mengadakan upacara penyambutan. Uniknya, kostum yang digunakan bukanlah t-shirt ataupun kemeja kotak-kotak (Just Kidding), tetapi mereka menggunakan baju adat dengan balutan tenun ikat khas Sikka.
Apalagi saat itu rasa-rasanya seluruh warga desa dilibatkan secara penuh untuk upacara ini. Efeknya kepada Kami, rasa bangga langsung muncul kala itu juga, seraya berucap kekaguman "tenyata Nilai-nilai luhur gotong royong tampak terpelihara."
Meski malu-malu, kami berjalan langsung menuju tepat ditengah-tengah masyarakat desa Doka. Terlihat seorang pria didiapit oleh dua orang wanita yang membawa selempar daun beserta wadah untuk air. Tampak pula 2 buah tenun ikat Sikka turut dibawanya."kira-kira untuk apa ya?" ungkap kami sembari berbisik.
Tak sampai situ saja, penari yang didominasi perempuan dari berlakang langsung memulai tarian penyambutan yang dikenal dengan nama Moloraru. Oleh masyakarat setempat, tarian ini hanya diperuntukkan untuk menyambut raja-raja, tamu agung dan hanya orang-orang penting.
Namun kini, bukan raja atau tamu penting yang didapat, tapi kami, sekumpulan pemuda yang sehari-harinya hidup di Jakarta dan larut dalam ritme serba cepat. Dapat dikatakan inilah salah satu moment terbaik dalam hidup. betapa tidak, kapan lagi coba bisa jadi raja dalam sehari?
Kami pun sangat menikmati sambutan tersebut, bahkan rasanya ingin langsung ber-terima kasih kepada semua masyarakat Doka atas kerendahan hati mereka yang telah memberi sambutan, selayaknya kami bagian yang tak terpisahkan seperti layaknya keluarga sendiri.