Hati rasanya campur aduk, kala lelah bercampur dengan kebahagiaan. Lelah karena perjalanan pulang menuju penyebrangan Bakauheni dari Way Kambas yang memakan waktu 4 jam perjalanan darat. Bahagia karena akhirnya bisa berdiri tegak didepan Menara Siger yang dinobatkan sebagai titik nol dari Sumatra bagian selatan.
Hal tersebut merupakan ungkapan yang wajar, sedari dulu menyebrang dari pelabuhan Merak – Bakauheni, diri pribadi hanya menganggap Menara yang berada di ketinggian 110 meter tersebut hanya sebagai petanda kapal segera merapat di dermaga.Â
Kini ceritanya berbeda, keinginan mengisi dahulu perut yang mulai lapar disekitar pelabuhan, sebelum menyembrangi Selat Sunda, membawahkan sebuah cerita baru yaitu berkunjung serta melihat langsung kemegahan dari ikon yang dipercaya sebagai sebuah identitas masyarakat Lampung, tak jauh dari pelabuhan.
Betapa tidak, hampir setiap toko, rumah, pusat perbelanjaan di kota Bandar Lampung memasang hiasan Siger di atas pintu masuk. Hal itu cukup membuktikan bahwa Siger bukan hanya menjadi mahkota (pengantin wanita) yang merepresentasi kehormatan serta status sosial saja, terlebih Siger telah dipercaya menjadi simbol kedaerahan yang telah melekat saat siapapun menyebut nama Lampung.
Ajaibnya, tak hanya beberapa orang saja yang datang, banyak bus yang terparkir membawa antrian antusias pengunjung cukup tinggi untuk menghabiskan waktu, guna menjelajahi sembari beristirahat dulu sebelum menyebrang Selat Sunda terlihat di sekitar menara, seakan panas tak mengentikan kunjungan mereka. Pemandangan tersebut dapat dikatakan bahwa daya tarik dari bangunan dengan 6 lantai tersebut masih cukup seksi untuk didatangi.
Betapa tidak, view depan yang berhadapan langsung dengan pelabuhan Bakauheni, dan view belakang yang menyajikan pemandangan Selat Sunda yang kala itu sedang indah-indahnya untuk dinikmati. Perpaduan bukit-bukit dengan lautan luas yang dihuni oleh kapal maupun perahu yang lalu lalang, membuat diri tak tahan untuk berucap ‘wonderful.’
Euforia kebahagiaan tak perlu ditanya, pikiran yang sedari tadi hanya mengelukan jalan berlubang, berubah menjadi kekaguman akan sebuah bangunan yang digadang-gadang tahan akan guncangan dan terpaan angin berkat teknik ferrocement, sistem konstruksi dengan rangka mirip jejaring laba-laba yang kokoh.
Terdapat sebuah toko suvenir yang kala itu tutup, entah tutupnya baru hari itu, atau sudah tidak digunakan lagi dan juga sebuah kereta kencana. Selebihnya hanya pemandangan biasa saja. Namun ketika mulai menaiki tangga menuju lantai teratas, disitulah letak keindahan yang sesungguhnya, dimana orang-orang dapat mengintip melalui celah jendela view yang mengerah ke lautan luas.