Derasnya aliran sungai Nimanga, Desa Timbukar, Minahasa, Sulawesi Utara, memang tiada dua. Sembari menikmati candu dari adrenalin yang terkumpul. Kedua bola mata dibuat tak berdaya menikmati rangkaian pemandangan yang tersaji. Mulai dari tebing yang tinggi, pepohonan yang rindang hingga barisan batu-batuan disekitar sungai..
“15 orang, 9 Kilometer, 3 perahu karet, 2 jam & 1 Cerita”
Statistik diatas sedikit menjadi awalan dan akhiran terkait aktivitas rafting yang terekam. Setelah dibuat penasaran dengan aktivitas Rock Climbing di Desa Kilometer tiga (kilo 3), kini elf yang ditumpangi segera menuju titik awal perjumpaan untuk aktivitas rafting.
Keberuntungan nampaknya berada di pihak kita, sampai ke tujuan tepat waktu merupakan salah satunya. Sehingga langkah bisa dengan segera bergegas menuju meja bundar, mengisi perut terlebih dahulu sebelum dilanda kelaparan. Kenapa begitu, jawabannya sederhana, karena rafting merupakan aktivitas yang mampu membakar kalori dengan jumlah yang banyak, dan dari hasil pembakaran makanan yang dicerna akan diubah menjadi energi. (semacam info bagi orang-orang yang dilanda obesitas) hahahaha.
Tingkat sungai yang menyentuh grade 4, tak membuat semangat patah ditengah jalan, bisikan-bisikan akan kekalahan sudah tak terdengar lagi. Life vest, helmet, dan dayung telah berada di tangan. Sebagai pembuka setelah semua telah terpasang dengan gagah, empunya rafting pun turun langsung memberikan arahan berupa tips & trick melawan jeram dalam balutan pesan ‘safety first.’
Jeram-jeram ditempat ini pun diberi nama yang unik, ada yang bernama jeram Good Bye!, Superman, Tornado hingga Golden Gate. Setiap jeram memiliki karakteristik dan sensasi yang berbeda-beda ketika dilalui. Jeram yang paling melekat dihati, tak lain jeram Superman, perahu yang ditumpangi seakaan terbang layaknya manusia super yang belum lama ini menghiasi etalase hampir seluruh bioskop di Indonesia. Namun sayang tak ada nama rekan seperjuangannya, Batman, ditempat ini. Karena kelelawar hanya mengisi penuh meja makan masyarakat sekitar dengan nama ‘paniki.’
Hujan deras mengiringi langkah saat meneruskan kembali perjalanan, rintik-rintik hujan yang jatuh membawa artian dinginnya udara bersiap menyerang tubuh, tak mau hal tersebut menghampiri, dayung maju serentak menjadi aba-aba yang sering terdengar disisa perjalanan. Momentum stop kali kedua pun dimanfaatkan dengan maksimal oleh seluruh peserta, tebing yang memiliki tinggi ± 5 meter menjadi tempat dimana ajang lompat-lompatan secara bergantian dilakonkan.