Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Hari Kartini] Antara Mollo, Filosofi Kehidupan dan Mama Aleta

21 April 2016   19:10 Diperbarui: 22 April 2016   10:17 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="mama aleta baun/ koran jakarta"][/caption]Nama Mollo bagi sebagian orang tak terlalu akrab ditelingga, namun ketika Anda memiliki waktu luang untuk sejenak berselancar di mesin pencari, maka secara otomatis salah satu etnis suku Dawan yang mendiami Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) akan didapat. Menarik membahas etnis satu ini, bukan karena prestasi yang macam-macam, terlebih karena filosofi hidup yang mereka adaptasi secara turun temurun dari leluhur mereka.

Oel Fani On Na’ (air adalah darah), Nasi Fani On Nafua (pepohonan adalah rambut), Afu Fani On Nesa (tanah adalah daging), Fatu Fani On Nuif (batu adalah tulang). Ke-empat filosopi tersebut mampu membentuk pemahaman bahwa orang Mollo menghargai, menghormati, menjaga dan memperlakukan alam layaknya tubuh mereka sendiri. alam layaknya suatu bagian yang tak terpisahkan dalam aliran darah mereka.

Ironinya, pada tahun 1900-an kekuatan kapitalis berbentuk indutri tambang yang berfokus mengekploitasi dan mengeklorasi batu marmer mengancam kehidupan masyarakat Mollo yang telah turun-temurun men-sakralkan pegunungan mutis (lokasi penambangan). Hingga muncul satu nama yang kuat melakukan protes keras dan upaya konservasi terhadap gunung yang juga sebagai kawasan pemasok air bagi penduduk di pulau tersebut.

Aleta Baun, atau yang akrab disapa dengan panggilan Mama Aleta. Ikon masyarakat mollo satu ini, benar tak lulus SMA. Tetapi prestasinya tentu membuat kita yang berada di kota besar akan tercengang mendengarnya. Mendapat penghargaan The Goldman Environtmental Prize di San Fransisco, California, Amerika Serikat, pada tahun tahun 2013 menjadi bukti mata dunia terfokus pada wanita yang lahir di Lelobatan, Mollo, Timur Tengah Selatan 16 April 1963 silam.

Penghargaan tersebut diberikan atas prestasi beliau yang berjuang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman pertambangan. Tindakan-tindakan beliau sebagai motor penggerak mulai dari menyadarkan kembali etnis Mollo serta melakukan advokasi hingga perusahaan tambang angkat kaki dari daerah tersebut tentunya patut diberikan apresiasi yang besar.

Perkenalan dengan Mama Aleta terbilang tak sengaja, tepatnya pada acara South To South Film Festival (StoS Fest) pada 2012 lalu. Kala itu karya essay saya pribadi menyabet gelar essay terbaik digelaran event yang berlangsung di Jakarta. Beliau kebetulan menjadi bintang tamu dari acara tersebut.

Profil nya mulai dari berhadapan dengan masyarakat yang pro tambang ditambah pemerintah setempat yang menuduhnya menyerobot hutan. Hingga muncul pengunguman untuk menangkap dan membunuh mama Aleta.

Tak terhitung pula ancaman demi ancaman pembunuhan didapat olehnya, Hal itu justru tak membuat ia kehilangan nyali, perjuangan terus dilakukan tanpa mengenal kata lelah. Hingga pada 2001 ia sukses mengusir investor tambang.

Sebagai anak ke-6 dari 8 bersaudara dan terlahir di dalam lingkaran keluarga petani, membuatnya sejak kecil dekat dan menyatu dengan alam. Makanan dari hutan, obat-obatan dari hutan, bahkan perwarna alami terut disajikan alam demi ragam kebutuhan manusia. Hubungan spiritual kuat seperti ini tentu tak dimiliki seluruh manusia yang mendiami bumi. Maka dari itu, banyak masyarakat lokal yang mendukung aktivitas mama Aleta, mengingat pertambangan dapat merusak sumber pangan mereka.

Jika bisa menyandingkan figurnya dengan ragam figur wanita kuat lainnya yang pernah ada, maka jelas di Indonesia sendiri, figur Kartini atau Srikandi era modern jelas bersanding dengan namanya.

“Perempuan tak hanya dapat melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, tetapi juga harus gencar memerangi kerusakan alam yang dapat menghilangkan sumber pangan. Jika tidak ada hutan, mereka tidak mempunyai kayu sebagai sumber bahan bakar, jika tidak ada air, mereka juga tidak dapat memasak.”

-Mama Aleta-

@dethazyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun