Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gagahnya Ksatria Caci Asli Tanah Flores

3 April 2016   02:07 Diperbarui: 3 April 2016   09:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="caci dance in action/ detha & sofyan"][/caption]

Kejantanan tak semata harus dibuktikan dengan mendaki gunung tertinggi atau bermain dengan ombak di atas papan selancar. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh laki-laki untuk menunjukkan jiwa keberanian yang berdiam didalam diri. Salah satunya dengan tarian Caci.

Pada hari-hari biasa, kita bisa saja menyaksikan secara langsung dengan menghubungi tetua adat yang berada di Kampung Cecer, Desa Liang Ndara, Manggarai Barat, NTT. Itulah yang kami lakukan pada liburan semester yang lalu. Mereka sangat bersemangat karena kami tak hanya ingin menikmati, tapi turut menggali lebih dalam gaya petarungan Caci asli tanah Flores yang saat disaksikan, digadang-gadang oleh wisatawan asing maupun domestic sebagai salah satu budaya lelulur.

Panas matahari telah menyengat hingga ke kulit. Dentuman musik penabuh semangat membuat yang mendengar turut merasakan adrenalin yang memacu dengan kuat. Seorang paki (petarung) mencengkrang kayu yang ujungnya berupa tali pecut kerbau, mencoba mengelilingi sekelompok musuh. Bersiap melakukan kuda-kuda untuk sesegera mungkin menyerang ke arah Ta’ang (penangkis) yang di tangannya ngiling (tameng kulit kerbau).

Saat serangan dimulai paki berhasil mengenai ta’ang, tepat dipunggungnya. Besar lukanya memerah, namun raut mukanya malah dilanda bahagia tanpa rasa sakit sedikit pun. Orang-orang pun bersorak menyiratkan makna kepahlawanan dan keperkasaan. Tarian ini tak boleh menyerang secara bersamaan, harus ada penyerang dan yang bertahan. Posisi tersebut saling bergantian. Saat gong dan nyanyian masih dimainkan semangat para petarung caci di bawah sinar matahari menjadi bertambah. Belum lagi otot yang dihasilkan dari tubuh atletis mebuat cengkraman pada senjata begitu kuat, meskipun dibalut dengan kulit berwarna hitam.

[caption caption="membuka pertarungan/ detha & sofyan efendi"]

[/caption]Kepribadian Indonesia melalui budaya gotong royong bisa dinikmati oleh mata telanjang. Kelompok kecil pria dewasa memainkan perannya sebagai penabuh gong, serta kaum wanita, ibu-ibu disibukkan menyiapkan makanan dan minuman bagi orang-orang yang hadir. Semuanya mengambil peran sesuai kemampuannya. Sehingga wajar jiwa tak henti-hentinya dibuat takjub selama menyaksikan langsung tarian Caci.

[caption caption="mempersiapkan pelindung diri/ detha & sofyan"]

[/caption]“Ca” yang berarti satu, dan “ci” yang berarti uji, memiliki makna kesabaran dalam uji ketangkasan satu lawan satu. Sabar disini bukan semata-mata diartikan “nrimo,” ketidak mampuan dan identik dengan ketertindasan. Terlebih, kesabaran sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa setiap pertarung. Menyiratkan pesan bahwa seorang pahlawan tak selamanya menyerang, pasti adakalanya harus bertahan dari serangan yang dilakukan oleh pihak musuh.

Dengan kostum yang khusus, penari caci tampak semakin gagah, pangga yang menjadi aksesoris kepala berbentuk kepala kerbau bertanduk tiga. Dan dihiasi bulu ekor kuda. Makna ekor kerbau atau kuda sengaja ditambahkan dalam aksesoris karena kerbau atau kuda memiliki jiwa ksatria yang terselip dalam butir-butir kegigihan.

[caption caption="ritual sebelum bertarung/ detha & sofyan efendi"]

[/caption]Akhirnya kami memiliki kesempatan menggunakan kostum Caci dan memperagakan tarian bersama salah satu rekan team saya. Semua aksesoris disematkan kepada kami. Setelah semua terpasang. Saya ditunjuk sebagai Paki yang bersiap melakukan penyerangan, serta rekan team saya memiliki peran sebagai Ta’ang penangkis serangan. Pukulan pertama pun dimulai hingga serangan berikutnya secara bergantian. Seakan penari caci profesinal, kami harus mampu menjiwai peran di saat menebak arah serangan dan melakukan serangan. Kami berdua pun berganti peran hingga akhirnya kami lelah dan beristihat menandakan tarian tersebut telah usai.

[caption caption="salam dari kami berdua (dalam balutan kostum caci)"]

[/caption]Meskipun tak begitu menguasai permainan ini, Kerendahan hati dari segenap masyarakat menjadi penyemangat dikala raga masih dibalut kostum Ksatria Caci. Sembari menghapus keringat yang mengalir, mereka dengan suka cita mengajarkan langkah demi langkah agar mahir, Sampai-sampai ajakkan menginap datang bak suatu kejutan. Hangatnya sambutan membuat saya betah berlama-lama ditempat ini, dan dari tempat ini pula, sebuah pelajaran berharga bagi kehidupan akhirnya didapatkan.

@dethazyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun