[caption caption="para pengisi acara dalam bootstrap traction for start-up - dethazyo"][/caption]
“Indonesia selalu diposisikan market oleh ragam serbuan start-up dunia, jika tak didukung secara masif baik oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, kapan negara ini bisa maju?”
Bukan hal yang mengherankan ketika mengetahui Indonesia sebagai negera yang memiliki penetrasi pengguna internet sebanyak 93,4 juta pengguna (Global Web Index). Bahkan media sosial terkemuka yang berawal dari start-up semisal Facebook, Twitter, Whatsapp serta Instagram selalu mendaulat negeri tercinta sebagai 5 besar negara dengan jumlah pengguna terbanyak.
Sebenarnya tak ada salahnya dengan statistik tesebut, lagi pula ragam aplikasi memiliki manfaat tersendiri bagi para penggunanya. Namun yang disayang, label “market” yang bersanding dengan nama Indonesia yang menjadi masalah. Kenapa bukan kita, kenapa bukan anak bangsa, kenapa bukan start-up lokal saja?
Jika menyalahkan memang tak ada habisnya, apalagi terus menerus berkoar akan suatu keburukkan tanpa ada suatu solusi nyata yang bisa dilakukan. Cukup dengan langkah sederhana yaitu berpikir positif bahwa Indonesia Bisa, apalagi dengan adanya event yang bertemakan Bootstrap Traction For Startup, yang diadakan oleh Code Margonda bekerja sama dengan PT. Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui programnya Bakti BCA, di Menara BCA, Kawasan Sudirman, Jakarta Pusat (1/3).
[caption caption="ramainya peserta yang hadir - dethazyo"]
[caption caption="pembukaan dari empunya acara - dethazyo"]
Meski terhitung baru bagi pemilik start-up Doktor Brankas, Freenesia, dan krona. Gagasan mereka membentuk start-up masing-masing, mampu mengundang takjub dan kekaguman dari para peserta yang hadir. Sepanjang pemaparan, tak jarang pula pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan peserta yang ingin tahu akan ide-ide dasar yang mendasari kegelisahan untuk segera membuat start-up.
[caption caption="pemaparan materi dari dokter brankas - dethazyo"]
Berawal dari Hal Kecil
[caption caption="vice presiden dari Go-Jek menerima plakat - dethazyo"]
Berkaca pada Go-Jek yang buah pemikiran awal lahir dan berkembang di ibu kota (Jakarta), kegelisahan akan kemacetan membuat salah satu anak bangsa yang sehari-harinya bekerja memanfaatkan jasa ojek pangkalan. Efiensi waktu pun didapat, meski kocek yang dikeluarkan bisa dikatakan mahal untuk sebuah sarana transfortasi. Berdasarkan hal tersebut, muncullah ide membuat start-up yang mengorganisir para driver ojek dalam sebuah wadah pada 2011, dan hingga kini merambah ke bisnis non tranportasi.
Paparan dari Dayu, sebagai Vice Presiden, menjelaskan bubble baru pada aplikasi Go-Jek berupa jasa non transportasi sedikit membuka mata kita, kalau ide-ide muncul kadang tak jauh datang dari kehidupan pribadi. Buru-buru menghadiri undangan dan tak sempat ke salon ya Go-Glam jawabannya, tak sempat bersih-bersih rumah karena seharian sibuk di kantor, Go-Clean Jawabannya, malas antri untuk mendapatkan servis relaxasi tubuh di Spa treatment maka Go-Massage muncul ke permukaan.
[caption caption="tampak serius menikmati acara - dethazyo"]
@dethazyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H