Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sosok Pahlawan Dalam Ingatan

14 November 2013   00:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13843629672045979749

[caption id="attachment_277853" align="aligncenter" width="516" caption="irawan yani putro/flickr.com"][/caption] Telah gugur pahlawanku Tunai sudah janji bakti Gugur satu tumbuh sribu Tanah air jaya sakti

Sepenggal lirik lagu rekaan Ismail Marzuki yang diberi judul Gugur Bunga, dapat memberikan suatu pencerahan agar generasi berikutnya dapat mengenang jasa para pahlawan yang telah lebih dulu hidup dan berjuang untuk tanah air. “Mati satu tumbuh seribu” itulah diharapkan, sebuah keinginan yang tak muluk-muluk untuk menjadikan pahlawan sebagai figure yang patut di contoh.

Gugur bukan berarti kalah, gugur bukan berarti ajal menjemput terlalu cepat. Gugur tak juga berhenti berjuang. Gugur bukan alasan untuk menjadi penghias tembok sekolahan dengan label pahlawan nasional. Bukan pula bertempur melalui liang lahat. Tapi semangat mereka hingga kini, terus menerus meracuni bagaikan virus yang tersebar untuk calon pahlawan-pahlawan baru. Walaupun kini mereka telah tiada.

Bambu runcing dianggap senjata mematikan dalam sejarah mendapatkan kemerdekaan. Gambaran perjuangan tersebut hampir memenuhi seluruh karikatur yang tertera dalam media massa pada moment tertentu semisal hari pahlawan kemarin, 17 agustus-an de el el. Mencoba merefleksikan semangat akan perjuangan tanpa henti walaupun maut menjadi hal yang turut dipertaruhkan.

Amalan serta semangat para pahlawan memberikan angin segar bagi benih-benih pemimpin yang baru lahir ke muka bumi. Tak harus dengan senjata ataupun sebuah bambu. Jika kita masih ingat sejarah, satu nama yang tercatat sebagai pahlawan nasional tertanggal 25 juni 1971, sejarah mengangkat Wage Rudolf Soepratman atau yang popular di sebut W.R Soepratman, memberikan potret seorang pahlawan yang justru berjuang untuk indonesia dengan biola dan pena.

Meskipun beliau tak sampai tahu bagaimana pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno dan Hatta, gugur sebelum kemerdekaan bukan alasan seorang komponis yang sukses menanam saham untuk kemerdekaan dengan menggubah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ini dapat dikatakan gagal.

Berkat lagu gubahan personil Jazz Band “Black and White” ini pada kongress pemuda 2, berhasil membawakan lagu kemerdekaan pertama kali ke muka publik meskipun tanpa syair, karena kata-kata dalam lirik tersebut dikhawatirkan akan memicu sikap represif aparat penjajah. Berawal dari hal itu, berbagai organisasi politik pemuda di nusantara menjadikannya sebagai lagu wajib untuk membuka berbagai rapat mereka.

“Indonesia Raya, merdeka, merdeka.” Mendengar lirik tersebut siapapun selama masih berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Maka dengan segera semangat yang ada didalam diri menjadi terbakar untuk memberi perlawanan, memberi jawaban akan mimpi yang diangkat sebagai cita-cita memperoleh kemerdekaan.

Dan kini, kita telah menikmati kemerdekaan, menyanyikan lagu kebangsaan dengan sekeras-kerasnya tanpa harus tertekan oleh para penjajah yang telah di usir 68 tahun yang lalu. Namun kini, lagu tersebut hanya lah lagu pengantar upacara bendera di halaman sekolahan. Bagai lagu dari para artis yang munculnya secara instan belakangan ini. Cepat muncul, cepat pula dilupakan. Bahkan tertimbun jauh dengan tren instan yang menggerayangi bangsa ini.

Sekarang, perjuangan para pahlawan terancam dilupakan, Layaknya negeri ini memperoleh kemerdekaan secara instan. Hal yang di pahami hanya kemerdekaan sebagai hadiah yang diberikan oleh saudara tua (nipon: Jepang), bukan dari proses perjuangan kaum muda yang menuntut kemerdekaan diselenggarakan sesegera mungkin.

Tumpah darah serta perjuangan sampai mati mengabdi diatas bendera merah putih bisa saja terlupakan. Namun semangat dari pahlawan harus menjadi angin sejuk di kala senja. Memberikan kesejukkan bagi siapa saja yang ingin berbuat lebih banyak untuk bangsa ini.

Tentu saat ini mereka (para pahlawan) tinggal nama, adapun tokoh pemuda yang dahulunya lantang menyuarakan perubahan telah menua, saatnya perjuangan ini di topang di pundak para pemuda saat ini. Mereka yang disebut secerah harapan. Mereka pula mutiara yang terdapat dalam lautan yang dalam. Saatnya berjuang untuk perubahan indonesia lebih baik. Sudah saatnya kita bersatu untuk menolak lupa dan mengheningkan cipta, DIMULAI!!!!

@dethazyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun