Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Butuh Feedback, Yakin?

28 Maret 2013   00:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:06 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_234966" align="aligncenter" width="608" caption="ilustrasi: austin kleon book"][/caption] “Bro, bantuin tugas gue ni?”

Tidak jarang kita mendapatkan pesan singkat seperti diatas, baik via SMS, BBM, hingga social media lainnya dari teman, saudara bahkan keluarga jauh. Pilihannya Cuma 3, jawab iya atau tidak, dan tidak sedikitpun yang hanya mengabaikan sebuah message. Tetapi sebagai manusia yang baik menolong adalah perbuatan yang mulia bila dikerjakan secara iklas lahir batin. Lantas, apakah sebuah feedback dibutuhkan?

Asumsi normal manusia beranggapan bahwa kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan pula. Tapi Adakalanya sebuah kebaikan belum tentu mendapat feedback yang sama. Niat iklas membantu dalam mengerjakan tugas, kerjaan ataupun hal lainnya tanpa mengharapkan feedback menjadi awal yag baik demi sebuah nama “kebaikkan.”

Persoalan muncul ketika secara pribadi meminta bantuan kepada orang yang pernah dibantu, justru mengarang indah dengan berbagai alasan, dengan kata lain menolak secara halus. Secara tidak langsung hal, dalam masalah ini feedback secara sengaja maupun tidak sengaja, hal tersebut diam-diam menjadi harapan.

Harus dipahami bahwa semua tindakan dalam tanda kutip "menolong" tidak harus mendapat imbalan yang setimpal. Lebih baiknya mari melirik kepada apa yang dimaksud dengan manusia sebagai mahluk sosial, benar manusia tidak dapat hidup sendiri dalam kehidupan nyata. Namun, untuk beberapa kasus, terkadang manusia dituntut untuk lebih memimikirkan dirinya sebagai individu yang memiliki akal pikiran untuk memperoleh kebahagiaan dengan menyampingkan kepentingan kolektivisme (Bersama/kelompok).

Tidak perlu pusing, ketika label "iklas" telah menghiasi, maka secara langsung kita tidak membutuhkan apa-apa dari orang yg telah kita bantu. Cukup dengan mengerjakan dan menjalaninya sendiri apapun itu. Kalau dirasa kurang atau tidak mampu barulah meminta bantuan.

Tetapi ketika kita ingin mendapatkan bantuan, jangan hanya menitik beratkan pada satu orang. Bisa saja satu orang yang dikenal sering mendapat bantuan dari kita ini cukup sibuk ataupun ada agenda lain yang melatarbelakangi kenapa dimenolak. Oleh karena itu, cobalah minta bantuan keteman-teman yang lain. Dengan seyakin-yakinnya bahwa sebagai manusia kita tentu tidak hanya memiliki teman hanya seorang, maksimalnya lebih dari satu, berbeda ketika dihadapkan dengan orang yang kuper. Jika tidak dapat juga, mbah gugel bakal setia membantu hanya dengan satu sentuhan “Enter.”

Bayangin aja sekelas Theodore Roosevelt aja pernah ngomong gini loh "do what you can, with what you have, where you are." Absoluttly, ketika kita bisa kenapa gak?

Take Action

Tugas ataupun kerjaan tidak akan selesai dengan sendirinya ketika kita hanya berdiam diri dirumah. Meskipun ponsel menjadi alternatif untuk mencari bantuan layaknya menghubungi 911 atau 21045. Justru hal tersebut menjadi cikal bakal dari pribadi yang malas. Hanya mengharapkan bantuan tanpa ada suatu usaha sama sekali untuk menyelesaikannya.

Leave Home, itulah jawabannya. Menurut buku “Steal Like an Artist” rekaan Austin Kleon mengungkapkan bahwa “otak kita terlalu nyaman jika berada dilingkungan sehari-hari, sedikit improvisasi, anda perlu menghabiskan waktu dilingkungan yang membuat anda tidak biasa. Anda akan menemukan orang-orang yang melakukan hal-hal yang berbeda dari yang biasa anda lakukan, dan itu membuat perjalanan keluar selalu tampak baru. Otomatis ketika dunia tampak baru, maka otak kita akan bekerja lebih keras.” Begitulah yang ia ungkapkan.

Semisal meninggalkan “comfort zone” kita, sebut saja kita berada diperumahan elit didaerah Kemang, Jakarta Selatan, yang dipenuhi dengan kenyaman. Coba bermain-main kedaerah yang kesulitan air bersih, Muara Baru, Jakarta Utara misalnya. Sulitnya mendapatkan air bersih membuat mereka terpaksa menggunakan air asin disumur yang dangkal untuk konsumsi sehari-hari. Jika ingin air bersih otomatis mereka harus mengeluarkan kocek yang lumayan untuk mendapatkannya. Dari hal itu, mau tidak mau kita berpikir bahwasanya “disaat kita disibukkan dengan uang jajan yang gak naik-naik, lainnya justru berjuang untuk mendapatkan air bersih.”

Dari hal tersebut kita bisa belajar untuk bijak menjalani hidup, tidak usah pusing. Hal ini tidak mahal dari segi biaya, siapapun bisa mencoba. Dari situ nantinya kita akan tahu bagaimana arti dari sebuah usaha dan apa yang bisa kita lakukan.

Distance and difference are the secret tonic of creativity. When we get home, home is still the same. But something in our mind has been changed, and that changes everything, Jonah Lehrer

@dethazyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun