Mohon tunggu...
Detha Arya Tifada
Detha Arya Tifada Mohon Tunggu... Editor - Content Writer

Journalist | Email: dethazyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Theory is Nothing Without Practice

28 Februari 2012   20:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:46 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_163866" align="aligncenter" width="573" caption="praktek pembuatan pupuk kompos (Dok. Pribadi)"][/caption] Bergelar Profesor, Doctor, atau sederet gelar-gelar yang mempuni lainnya, tidak selamanya menjamin teori dengan presentasi nan sempurna bisa berbuah perubahan. Dalam pelaksanaan selalu teori-teori yang lebih dominan namun ketika prakteknya 0 besar.

Keyakinan diatas tidak semata-mata asumsi belaka tanpa realita. Melirik karya-karya dalam opini yang menghiasi koran-koran nasional, jika diperhatikan dengan seksama banyak yang menuangkan ide serta gagasan berlatar belakang memiliki gelar yang tinggi. “ini seharusnya begini, ini seharusnya begitu” sepenggal kalimat yang menghiasi tulisan mereka. Namun faktanya, yang berbicara, sedikit dari mereka yang dapat merealisasikan gagasannya.

Fakta yang unik justru diperlihatkan oleh seseorang yang bukan bergelar Profesor, bukan pula Doktor. Pengalaman serta keinginan kuatnya, pria yang hidup dan bertempat tinggal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, mampu membentuk pemikiran-pemikiran serta tindakan nyata untuk menyelamatkan lingkungan. Berawal dari sampah, Pria yang bernama lengkap Bagong Suyoto kian populer diantara para aktifis lingkungan.

Terkait persoalan sampah, dari pengalamannya. baik mengelolah sampah, mengkoornidinir para pemulung, hingga membuatkan sekolah untuk anak-anak pemulung. Beliau memiliki mimpi agar setiap wilayah dapat mengelolah sampahnya secara mandiri. “bersama WALHI Jakarta dan GSM, saya memiliki mimpi untuk memberi pengetahuan kepada masyarakat secara luas tentang mengubah imej sampah yang selama ini dianggap kotor. Baik dari sekolah ke sekolah, kampus ke kampus hingga kampung ke kampung” tuturnya.

“tidak usah terlalu dipusingkan dengan banyak teori, seperti kata pepatah theory is nothing without practice. ketika kita masih diberi kesempatan sudah seharusnya  mewujudkan setiap ide-ide yang ada untuk direalisasikan. Solusinya kita terjun langsung kelokasi karena dengan begitu kita tidak akan berandai-andai dalam memberikan masukan”

Haji Chairudin jawara yang peduli lingkungan atau yang akrab disapa bang idin. meskipun beliau tamatan SMP, ia pernah mendapat penghargaan Kalpataru tahun 2000. beliau pun memiliki pandangan dalam membedakan antara orang pintar dan orang paham. “Duta lingkungan bukan yang cakep-cakep, tapi yang beneran peduli sama lingkungan. Orang sih pade pinter tapi kagak paham. Orang paham beda ama orang pinter” ucap Bang Idin.

Menurutnya terkadang orang hanya pintar teori dalam konservasi bantaran sungai, tapi tidak pernah ada tindakan nyata.

Revolusi Sampah

Mendengar Kata revolusi, kebanyakan pikiran tervisualisasi pada tumbangnya rezim orde baru oleh gerakan besar mahasiswa hingga menimbulkan korban jiwa. Tapi revolusi yang ini tentu beda. Ini terkait tentang perubahan lingkungan. Spesipik tentang sampah.

Tanpa kita sadari pola hidup kita menjadi salah satu faktor yang menghasilkan sampah. Tidak heran, setiap harinya di Jakarta saat ini lebih dari ± 27.966 M³. Jumlah yang sangat banyak bukan? Bahkan ada yang mengasumsikan dalam 2 hari tumpukan sampah Jakarta bisa membuat satu Candi Borobudur (Volume Candi Borobudur adalah 55.000 M³).

Melalui pelatihan aksi konservasi air dan pengelolahan sampah garapan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta dan Green Student Movement (GSM), mereka mengajak semua elemen masyarakat untuk memulai melakukan perubahan untuk penyelamatan lingkungan. Kali ini pelatihan tersebut dilaksanakan di Universitas Negeri Jakarta. Pelatihan tersebut  dipenuhi oleh puluhan mahasiswa UNJ yang mayoritas anak-anak mapala, Eka Citra UNJ. (24/2/2012)

Mahasiswa pecinta alam atau yang biasa disebut Mapala sudah pasti selalu dekat dengan lingkungan beserta isu-isunya. Selama pelatihan berlangsung para anggota Eka Citra tampak serius mengikuti pelatihan hingga praktek membuat kompos dengan komposter.

“jika tidak sekarang kapan lagi? Cobalah langkah sederhana, seperti memilah sampah. Paling baik si dapat menerapkan prinsip 3R (reduse, recycle, reuse). Jika tidak ada waktu mendaur ulangnya bisa dengan memberikan sampah dengan pemulung. Tentu sang pemulung akan senang, because the change is you” tutup Harry Kurniawan, Green Student Movement.

@dethazyo

13304608671956793452
13304608671956793452
13304609161461987831
13304609161461987831
1330460963238670247
1330460963238670247
1330461008638171573
1330461008638171573
13304610541311516951
13304610541311516951
13304610931584309141
13304610931584309141

Sumber Foto: Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun