[caption id="attachment_99209" align="aligncenter" width="640" caption="aksi "][/caption]
“Makin dasyat dampak semburan, makin bersemangat pihak Lapindo Brantas , menyatakan bahwa semburan lumpur adalah akibat bencana alam. Maka solusinya adalah membiarkan semburan lumpur berhenti secara alami.(Lapindo: Tragedi Kemanusian dan Ekologi)”
Perkataan diatas adalah sebuah scenario yang terbaca oleh publik selama tragedi Lumpur Lapindo hampir beranjak menginjak usia 5 tahun. Hal tersebut terbukti dengan kurang seriusnya PT. Lapindo brantas dalam melakukan upaya menutup sumber semburan lumpur serta dalam menjamin masyarakat mendapatkan hak-haknya. Tidak hanya itu, Sejak lumpur panas menyembur dari sumur eksplorasi Banjar 1 milik Lapindo, 28 Mei 2006 lalu. kini sudah 16 desa tenggelam dan sekitar 70.000 KK terpaksa mengungsi.
Pihak Lapindo beranggapan hanya dengan membayar ganti rugi dan penanganan tanggul permasalahan akan selesai. Tetapi apakah benar? Tentu tidak. Sejak lumpur panas menyembur dari sumur eksplorasi Banjar 1 milik Lapindo, 28 Mei 2006 lalu. kini sudah 16 desa tenggelam dan sekitar 70.000 KK (kepala keluarga) menjadi korban. Permasalahan tidak akan selesai hanya dengan ganti rugi bangunan dan penanggulangan tanggul. Banyak fakta-fakta yang diabaikan pihak lapindo. Terutama dalam kesehatan, air bersih, ekonomi, pendidikan dan masih banyak lagi. Proses ganti rugi sendiri pun tidak berjalan dengan lancar. Tercatat hanya 12.000 kk yang menerima ganti rugi. Hanya sepersekian persen kk dari jumlah total korban yang dapat merasakan ganti rugi dari Tragedi Lumpur Lapindo tersebut.
Berteman dengan gas beracun
Fakta tentang gas-gas yang ditimbulnya semburan lumpur Lapindo selalu menghantui para kk yang mengungsi karena dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Sumber mata air bersih sebagai sumber kehidupan pun menjadi sulit didapat. Pihak Lapindo seakan tutup mata dengan apa yang dialami oleh warga yang rumahnya menjadi korban lumpur Lapindo.
Masyarakat yang menjadi korban, seakan berteman dengan dengan gas-gas beracung. Tempat penggungsian yang letaknya tidak jauh dari lokasi titik semburan menjadi faktor utama betapa gas-gas beracun dari Lapindo dengan cepat hinggap di paru-paru warga.
Pemiskinan Korban Lapindo
Ditengah hiruk pikuk pemerintah klaim yang membanggakan bahwa dinegeri ini kemiskinan telah menurun. Tenyata hanya melalui kacamata kasus Lapindo saja sudah dapat menjawab bagaimana kemiskinan masih terus-menerus menghinggapi negeri ini.
Masyarakat yang kehilangan pekerjaan, lahan pertanian bahkan tempat peristirahatan yang menjadi tempat favorit keluarga hilang ditelan lumpur. Trauma akibat lumpur ini mengakibatkan banyak warga yang hanya dapat meratapi nasib mereka dipengungsian berharap ada seseorang yang dapat menolong mereka. Sungguh potret buram dari negeri ini.
Perempuan Perkasa
Para perempuan korban lumpur seakan menjadi perkasa dengan double pekerjaan menghantui mereka setiap hari. Menjadi ibu rumah tangga dan mencari nafkah. Permasalahan yang hampir sama dalam setiap konflik lingkungan hidup yang tersebar diseluruh negeri. Intinya perempuan menjadi kelompok yang paling menderita dari permasalahan ini.
“Padahal sepanjang sejarah peradaban bangsa ini perempuan merupakan makhluk yang memiliki kedekatan emosional dengan alam karena perempuan dengan dengan peran gendernya lebih banyak berinteraksi dengan alam dibandingkan dengan laki-laki. Mayoritas perempuanlah yang menyediakan air untuk keluarga, menanam padi, memanen, merawat ladang dan kebun, mengumpulkan kerang, dan lain sebagainya.”
Pernyataan ini disampaikan oleh Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI dalam buku “ Perempuan dalam Pengelolahan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.”
Anak-anak Putus Sekolah
Pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo menjadi semakin tidak jelas nasibnya. Sekolah mereka yang terendam, ditambah pula dengan tidak adanya biaya untuk mereka bersekolah ditempat lain.
Kondisi ini sangat miris sekali. Anak-anak yang seharusnya duduk manis menerima pelajaran di sekolah. harus menanggung kerasnya hidup pada usia yang masih sangat belia. Seharusnya ini menjadi perhatian yang sangat serius. Apakah kita rela para calon agent of change harapan bangsa tidak mengenyam pendidikan karena harus rumah, sekolah, mata pencaharian orang tua mereka terkubur dalam lautan lumpur?
Fakta-fakta diatas adalah setitik realita dari sekian banyak fakta-fakta yang muncul dari awal semburan hingga sekarang ini. Sejatinya dalam kasus Lapindo, pergantian ganti rugi dan penanggulangan tanggul bukanlah sebuah solusi yang tepat bagaimana mengobati luka para korban.
Kasus Lapindo harus dibawa ke pengadilan oleh pemerintah, dia harus bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan. Kita perlu memastikan Lapindo untuk dapat menutup semburan. Jika tidak Lapindo tidak akan selesai-selesai masalahnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Hendrik Siregar, Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), di Kantor JATAM, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Rabu (30/3/2011).
“Bakrie harus meminta maaf atas pembohongan publik yang sepihak kepada seluruh masyarakat Indonesia. Fakta dilapangan dengan yang terucap dari bibirnya seakan berbanding terbalik.” Tambah Hendrik.
Menutup mata, telingga bahkan mulut adalah tipikal penguasa terkait dengan kasus Lapindo, hampir 5 tahun sudah lumpur tersebut tidak henti-hentinya keluar dari liang peranakan PT.Lapindo Brantas. Apakah kita akan terus bungkam?
Sumber Foto: Dok. Pribadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI