Saya adalah pecinta kucing. Siapapun yang menjadi orang dekat saya, pasti tahu hal itu. Seorang teman bahkan memanggil saya dengan sebutan 'puzz' untuk mengasosiasikan kecintaan saya pada hewan berbulu itu. Dan saya tidak pernah keberatan.
Dulu sewaktu masih menjadi anak rumahan (baca: tinggal di rumah orang tua), Â binatang itu selalu ada di rumah, menjadi peliharaan. Tidak hanya satu ekor. Kalau tidak salah saya sampai punya delapan ekor kucing lucu. Memang jenisnya hanya kucing kampung. Tapi tingkah laku dan kelucuannya tidak kalah dengan kucing angora, Persia atau ras-ras hebat lainnya.
Tahap memelihara kucing itu berhenti ketika saya mulai menjadi anak rantau; kuliah dan bekerja di luar kota. Karena harus mondok/kost, tentu saja kebiasaan memelihara kucing tidak bisa saya teruskan. Hampir semua tempat kost melarang penghuninya memelihara binatang. Alasan takut kotor, bau, membuat tidak nyaman penghuni lain dsb memang bisa saya maklumi. Beruntunglah di Surabaya saya pernah kost di beberapa tempat yang mempunyai halaman, dan sering ada kucing tak diundang main bertandang. Bahkan ada yang lalu menjadi 'penghuni' tetap kost tersebut. Sudah tentu saya tidak melewatkan kesempatan untuk bermain, memberi makan dan memanjakan kucing-kucing liar tersebut. Paling tidak ini bisa sekedar mengobati kangen saya pada keberadaan mereka.
Pindah ke ibukota saya kembali kesepian. Saya perhatikan, rata-rata kucing-kucing di Jakarta 'tidak ramah' kepada manusia. Was-was, cemas dan tatapan penuh selidik kerap saya temui saat berusaha menyapa atau mengajak mereka bercanda. Saya sampai berpikir, mungkin kucing-kucing itu sudah 'terkontaminasi'kerasnya Jakarta ya. Mereka menjaga jarak dan tidak lagi percaya pada manusia.
Sampai akhirnya saya menemukannya di Taman Suropati. Seekor kucing jantan yang ramah. Bulunya berwarna duo, kombinasi putih dan kuning jingga. Pertama melihat, tidak ada yang istimewa kecuali tingkahnya mengusap-usapkan badan dan kepalanya ke kaki saya. Manja. Bahkan dia membiarkan saya mengangkat dan mendudukkannya di pangkuan. Dengan usapan tangan di kepala, leher dan badannya, si kucing jantan pun tertidur pulas dan mendengkur kesenangan.
Sejak kejadian itu, kami (saya dan kekasih) tidak pernah melewatkan hari Sabtu dan Minggu untuk bermain di taman depan gedung Bappenas tersebut. Jika dulu alasan kami ke sana untuk menikmati teduhnya taman, ramainya pedagang-pedagang bersepeda dan indahnya suara alat musik Suropati Chamber, sekarang bertambah lengkap dengan adanya si kucing.
Pertama berinteraksi kami kebingungan dengan nama panggilan. Kekasih mengusulkan untuk memberi nama Tommy. Tom sendiri adalah sebutan kucing jantan dalam bahasa Inggris. Untuk membuatnya unik, kami menamainya Tommy Suropati. Tapi sekali dua kali dipanggil, tidak ada respon dari si kucing. Ini membuat kami kembali memanggilnya dengan sebutan standar untuk kucing: pus. Hingga suatu saat saya memanggilnya dengan sebutan: nis. Sebenarnya ini adalah panggilan yang dulu sering dipakai oleh almarhum ayah saya kepada kucing-kucing kami. Nis sendiri adalah kependekan dari manis. Ternyata si kucing meresponnya loh. Jadilah sejak itu dia resmi kami namai Broniz, karena kadang bulunya sedikit kecoklatan.
Broniz adalah kucing pintar. Tiap kali kami datang dan memanggil namanya, serta merta dia akan berlari menghampiri. Kami memanjakannya dengan makanan kesukaannya: dua buah ikan juwe goreng tanpa nasi. Penjual nasi di dekat masjid Sunda Kelapa sampai hapal dengan ritual kami membeli ikan ini. Tapi kadang ikan juwe tidak selalu ada. Ini membuat kami harus putar-putar ke beberapa warung demi satu dua ikan juwe. Sampai akhirnya kekasih memutuskan untuk mencoba memberi makanan kucing instant. Dan teryata si Broniz suka. Favoritnya adalah dua pack/sachet sedang rasa ikan kembung, tuna atau salmon. Â Setelah makan, dengan senang hati Broniz akan mengikuti kami berjalan-jalan mengelilingi taman Suropati. Kadang acara ini diselingi dengan bermain petak umpet di sela pohon atau kejar-kejaran. Puas bermain, Broniz akan dengan lincah memilih pangkuan salah satu dari kami sebagai tempat tidur. Meskipun bulu-bulunya kadang rontok, menempel di celana dan baju, kami tidak keberatan. Melihat Broniz menikmati waktu tidur santainya sudah membuat kami puas dan bahagia.
Salah satu aktifitas yang juga disukai Broniz adalah mengejar burung-burung merpati yang dipelihara oleh taman. Mengamati dari kejauhan, mengendap-endap dan kemudian berlari mendekat seolah hendak menangkap. Sungguh menghibur. Saya yakin, Broniz memang tidak sungguh-sungguh ingin menangkap si burung. Dia hanya ingin mengoda dan sedikit bersenang-senang. Tapi meskipun ramah pada manusia, Broniz menjadi penakut saat menghadapi kucing lain dan juga anjing. Jika ada binatang yang tidak disukainya, Broniz akan berubah menjadi tegang dan gelisah. Terpaksa kami harus menenangkan dengan menyembunyikannya dalam pekukan.
Beberapa pedagang mengusulkan untuk membawa pulang Broniz. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Tempat kost saya maupun kekasih tidak mengijinkan membawa hewan peliharaan. Selain itu kami merasa Broniz akan lebih nyaman tinggal di taman. Taman adalah rumahnya. Broniz bebas bermain di atas rumput luas, naik turun pohon atau sembunyi di semak-semak. Dia juga di kelilingi pak polisi, pedagang dan juga pengunjung lain yang sayang padanya. Hanya Sabtu-Minggu saja sebisa mungkin kami akan rutin berkunjung.
Dengan kelucuan tingkahnya, Broniz adalah sang penakluk hati. Dia berhasil membuat kekasih saya terpikat. Dia yang semula bukan pecinta kucing, mulai jatuh sayang pada kucing itu. Mengunjungi di luar hari Sabtu-Minggu, memotong kuku-kuku kakinya yang terlalu panjang, merawat matanya yang sedang sakit, membelikan makanan instant sampai berniat membuatkan sebuah rumah kayu agar Broniz tidak kedinginan kala hujan.
Sayangnya niat kami yang terakhir itu tidak bisa terwujud. Sekitar satu bulan yang lalu Broniz hilang. Sebelumnya rutinitas Sabtu-Minggu yang biasa kami lakukan memang sempat tertunda beberapa kali karena kekasih terpaksa keluar kota untuk tugas kantor. Sejak itu, beberapa kali kami ke Taman Suropati tidak pernah kami temui lagi keberadaan si Broniz. Beberapa pedagang yang sudah mengetahui kedekatan kami dengan kucing itu memberikan informasi yang tidak pasti. Kami pun membuat praduga-praduga tak berdasar. Mungkin saja Broniz ditangkap dinas sosial untuk dirawat, dipelihara pecinta kucing lain yang datang ke taman atau diambil lagi oleh sang pemilik (dulu kami menduga Broniz adalah kucing rumah yang dibuang). Bahkan kami sampai mencarinya ke PPSJ di daerah Ragunan. Hasilnya tetap nihil. Kami sangat bersedih.
Saya ingat, seorang teman pecinta kucing pernah mengatakan bahwa dia tidak berani terlalu menyayangi kucing lagi hanya karena dia takut terluka. Tidak siap ketika si kucing kesayangan pergi atau mati. Saya merenung. Mungkin apa yang dikatakannya benar belaka. Tapi saya tidak mampu membendung rasa pada Broniz. Setelah beberapa upaya yang tidak membuahkan hasil, kami sepakat untuk berdoa saja demi kebaikan Broniz. Semoga dia baik-baik saja, sehat, nyaman dan aman.
Meskipun tidak membuat kesepakatan sebelumnya, sekarang rutinitas mengunjungi taman Suropati ini sedikit kami kurangi. Mungkin jauh di dalam hati kami sama-sama tahu bahwa perlu waktu untuk sembuh dari rasa kehilangan. Merelakan Broniz pergi yang ternyata memang tidak mudah, karena kami masih kerap diganggu rasa rindu. Mungkin melalui tulisan ini pembaca ada yang mengetahui keberadaan Broniz kami yang lucu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H