Mohon tunggu...
Desy Selviany
Desy Selviany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

berbagi informasi berbagi pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anjing Penjaga Pemilik Media

27 Desember 2013   08:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anjing Penjaga Pemilik Media

Oleh Desy Selviany

Pasca orde baru runtuh pers di indonesia pun semakin menggeliat seiring dengan undang-undang kebebasan pers nomor 40 tahun 1999 yang disahkan oleh presiden BJ.Habibie. Tidak lama setelah itu ratusan media massa baru pun bermunculan, baik itu meliputi media cetak, televisi dan radio. Akan tetapi eforia kebebasan pers ini tidak dibarengi dengan peraturan-peraturan yang jelas tentang kebebasan pers. Akibatnya permasalahan-permasalahan baru  pun muncul, kekacauan ini semakin terasa di awal tahun 2009 dimana media televisi berita di indonesia semakin bertambah dan banyak pemilik media-media tersebut terjun juga kedalam ranah politik.

Dari hal ini lah banyak pemilik media yang seakan-akan memanfatkan kebebasan pers untuk menciptakan suatu opini di masyarakat untuk memperindah citranya melalui media massa yang ia miliki. Akibatnya kebebasan pers pun seakan kebablasan, seakan  perusahaan media massa tidak dapat membedakan dimana  fungsi pers dan industri media massa. Hal ini bukan tanpa bukti, misalnya saja TvOne yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie Capres 2014 dari partai Golkar sering memanfaatkan media ini untuk program-program kampanyenya. Akan tetapi program-program kampanye dari Capres ini cenderung kabur, apakah ini sebuah iklan atau memang berita. Contohnya saja ketika TvOne memberitakan tentang ARB yang memberikan sumbangan dan sebagainya.  Hal ini yang seharusnya masuk kedalam ranah iklan bukan ranah berita karena seperti yang tertuang dalam Bab II pasal 5 dalam kode etik jurnalistik yang menjelaskan dimana wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri.

Bukan hanya TvOne saja media yang di manfaatkan oleh pemilik modal untuk memperindah citranya di masyarakat, ada banyak media lain di indonesia yang memiliki nasib yang sama seperti TvOne, misalnya saja Metro Tv yang dimiliki oleh Surya Paloh, MNC group yang dimiliki oleh Hari Tanoe, Jawa Pos yang dimiliki oleh Dahlan Iskan dan banyak media lainnya. Akibatnya saat ini pers yang seharusnya mengarah ke kebebasan pers malah lebih mengarah ke industrialisasi pers yang cenderung kapitalistik. Dari industrialisasi media inilah akibatnya para wartawan pun menjadi korban dari kapitalisme media massa. Wartawan yang seharusnya dapat bekerja secara independen dengan nyaman malah harus dihadapkan dengan perusahaan media massa yang cenderung terlalu ikut campur dalam independensi wartawan.  Maka dari itu kebebasan pers saat ini pun cenderung malah menjadi seperti bumerang bagi para wartawan untuk bekerja dengan bebas.

Untuk di indonesia sendiri tidak ada peraturan undang-undang yang jelas terkait dengan kepemilikan media massa. Akibatnya industri media massa di indonesia cenderung kearah oligopoli yang dimana seseorang dapat memiliki banyak perusahaan media massa. Akibatnya masyarakat pun semakin sulit dalam memilah milih media yang berimbang dan terpercaya. Hal ini juga berdampak langsung terhadap wartawan yang bekerja di media tersebut. Banyaknya pemilik media yang menggunakan medianya sebagai alat pencitraan membuat para wartawan di hadapkan pada 2 mata piasau yakni antara mempertahankan ideologinya ataukah urusan perut. Padahal seharusnya sesuai dengan kode etik jurnalistik yang terdapat pada pasal 1 yakni yang berisi bahwa wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa wartawan haruslah bersikap independen dimana mereka nantinya harus memuat berita yang akurat dan berimbang akan tetapi yang terjadi saat ini banyak wartawan yang mau tidak mau menomor duakan prinsip dan ideologi mereka demi kepentingan pemilik media. Dari sini sudah terlihat jelas industrialisasi media massa yang cenderung kearah kapitalistik membuat sebuah media massa banyak melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik yang sudah di tentukan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Wartawan sekali lagi menjadi korban, yang berbeda ketika jaman orde baru wartawan menjadi korban dari kediktaktoran pemerintah akan tetapi saat ini wartawan menjadi korban dari kediktatoran pemilik media itu sendiri.  Akibat dari kepitalisasi pada industri media saat ini membuat ke objektifitasan berita yang di sajikan oleh media-media tersebut  pun di pertanyakan. Banyaknya media yang cenderung memiliki garis pemisah yang abu-abu antara berita dan opini membuat masyarakat sulit untuk menerima berita yang benar-benar objektif. Saat ini media yang seharusnya menjadi wacth dog bagi sebuah pemerintahan malah cenderung terlihat sebagai anjing penjaga bagi pemilik media. Akibatnya pers yang seharusnya menjadi pilar keempat dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi malah ikut runtuh seperti ketiga pilar lainnya. Kebebasan pers yang cenderung kebablasan pun dapat di bilang sudah memasuki tahap kritis.

Banyaknya media massa yang cenderung mengabaikan independensi mereka demi kepentingan pemilik media tentulah sudah tidak dapat di biarkan dan harus di hentikan. Mengingat jangan sampai hal ini semakin terus berlanjut dan akan menciptakan permasalahan yang lebih kompleks di bandingkan saat ini. Akan tetapi pemerintah sepertinya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kebablasan pers ini, mengingat mereka cenderung takut jika di cap sebagai pemerintah yang otoriter seperti jaman orde baru pada waktu itu. Tentu saja hal ini sangatlah di sayangkan jika saja ketika awalnya kebebasan pers di barengi dengan aturan yang jelas terutama terhadap kepemilikan media maka hal ini tidak akan terjadi. Maka dari itu satu-satunya cara ialah masyarakat harus dapat meliterasi dirinya terhadap berita-berita yang di sampaikan oleh media massa. Pencerdasaan masyarakat akan media ialah salah satu senjata utama bagi negara yang memiliki sistem kebebasan pers. Dengan begitu masyarakat dapat menjadi media wacth yakni elemen yang bersama-sama mengawasi kinerja pers. Selain itu pemerintah pun harus secepatnya membuat undang-undang yang mengatur tentang kepemilikan media. Sebelum kebablasan pers di indonesia semakin menjadi rumit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun