Di deretan kontak ponselmu, manakah yang paling ingin kauajak berbicara?
Deretan terbawah, abjad terakhir, apakah analogi masa lalu untukmu?
Kaumembentang jarak atau kaumelipat jarak, sungguh kontradiksi yang sulit kutebak.
Di antara empat jalur menuju rumahku, aku selalu memilih jalur terjauh, agar lama aku menerka-nerka kemungkinan tentangmu, kemungkinan kedatangan-kepergianmu; aku selalu berada di antaranya,
Di antara bentangan zona waktu, di  antara komunikasi yang terputus dan jenuh.
"Aku tidak akan kembali ke masa lalu" pungkasmu dingin di balik telepon.
Aku pun membeku, mencari cara mencairkan jawaban di kepalaku tentang,
"Untuk apa kaumenyampaikan itu di telingaku?" kaumenyumbat aliran darah menuju jantungku; perkataanmu serupa belati cantik tetapi mematikan.
"Apakah aku masa lalu bagimu? Masa kini? Kaumengatakan itu padaku sebagai bagian masa lalumu? Atau hanya ujaran karena kaujenuh lebih dulu untuk memulai paragraf kedua?"
Alamat rumahku masih di sekitar bandara, aku takkan pindah ke tengah kota, & aku
Takkan letih mendengar-menghitung deru pesawat di atap rumahku.
Sampai kapan kauenggan menghitung lalu lalang langkahmu di pintu keberangkatan? Sampai kapan punggungmu terus berlari menghindari jarak pandangku?
Alinea pertama telah berlalu, masihkah kauabai pada paragraf kedua yang akan terjelang?
Pulang atau pergilah sejauh mungkin, sejauh gaung suaramu memekik tajam di telingaku,
"Aku tidak akan kembali ke masa lalu".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H