Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jaga Diri

10 Oktober 2023   20:47 Diperbarui: 10 Oktober 2023   20:49 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bulan depan, apa boleh kamu pulang dulu? Juni, kakakmu, sendirian di rumah. Ada yang menemani, tapi mama tak enak hati pada tetangga itu".

Aku tak langsung menjawab. Aku memikirkan kemungkinan pulang-pergi dari lokasi penelitian. Apakah memungkinkan? Jauh. Dan aku tidak bisa berjanji pada mama untuk menyodorkan kemungkinan terbesar. Hatiku tetap berdesir. Mama melanjutkan negosiasi, tapi kali ini agak memojokkanku.

"Kamu kapan selesainya? Kapan wisudanya? Sudah terlampau lama". Aku bisa membaca nada kejengkelan di sana, sekaligus putus asa.

Aku tidak tahu harus menimpali apa, tetapi todongan itu membuatku agak naik pitam. "Kalaupun sudah wisuda, aku belum tentu pulang, Ma".

Suasana mendingin, aku memperbaiki posisi dudukku. Dan mama tidak membalas apa-apa lagi, menunda perdebatan lalu masuk ke kamar entah melakukan apa. Aku pun bingung, mengapa begitu berat untukku untuk pulang? Seperti ada sesuatu yang menghadangku di sana. Masa lalu, pertengkaran, gejolak batin, hubungan yang tak harmonis, tuntutan masa depan, sosial ekonomi dan ketidakberdayaan. Aku selalu merasa harus pergi jauh untuk melihat semuanya lebih dekat, utuh. Terlalu dekat, membuatku tak mampu melihat masalah itu secara menyeluruh. Ada sesuatu yang harus aku lakukan, tapi tidak di sini. Kekuatanku tidak berfungsi di sini, aku butuh ruang.

Mama keluar kamar, membuka pintu kulkas dan menyeleksi isinya, memilah-milih sayuran. Mama melakukannya tanpa sepatah kata pun. Mama merapatkan kembali pintu kulkas, menyusun sayuran pilihannya, mengambil pisau dan talenan lalu memotong-motongnya tanpa suara. Aku tidak punya keberanian untuk mengintervensi aktivitas itu, aku menyilakan mama larut dalam keheningannya sampai beliau kembali membuka suara.

"Mama tak enak hati jika harus meminta tetangga itu mengambil alih semua tanggung jawab untuk menjaga Juni, kakakmu. Cukup dia membantu memasak saja. Untuk urusan cucian, kakakmu itu tidak bisa mengoperasikan mesin cuci. Nanti kakakmu menjemur pakaiannya dengan keadaan basah-basah tanpa dikeringkan terlebih dahulu. Lalu, jamunya bagaimana? Siapa yang mau menghangatkan jamunya?"

Aku menarik napas panjang. Urung menjawab buru-buru. Aku masih menatap layar laptop berupa rentetan-rentetan teori para ahli. Sungguh aku sudah muak dengan kemandekan tugas akhirku. Aku sudah terlambat lulus selama dua tahun. Selama itu, rasanya aku sedang berputar-putar di kepalaku sendiri. Berupaya mencari jalan keluar, namun rupanya tidak semudah itu. Aku penasaran pada rencana Tuhan. Kejutan apa yang Dia siapkan? Mengapa aku tak kunjung tiba di tujuanku?

"Ajarkan kemandirian pada Juni, Ma. Sampai kapan mama meminta bantuan orang lain untuk menjaganya jika mama bepergian? Sampai kapan Juni dibiarkan demikian?"

Akhirnya aku mengungkapkan kekhawatiranku secara gamblang. Mama tak tampak tersinggung. Beliau malah menanggapi dengan seadanya, "Sudah. Mama sudah mengajarkan padanya. Mama pernah memintanya untuk menghidupkan kompor, tapi dia malah lari dan marah. Tetapi dia pandai kok, menggunakan rice cooker. Tiap kali mama meminta dia untuk melakukan sesuatu, pasti dia meledak-ledak marah dan menangis. Mama selalu bilang padanya, apa tidak malu pada yang lain? Mereka semua sudah bisa melakukan banyak hal, tetapi dia masih saja seperti itu".

Lagi-lagi aku menghela napas berat. Berusaha tenang ditengah kecamuk.

"Ma, tidak seperti itu cara menghadapi Juni. Mama tidak perlu membanding-bandingkan dia dengan anak lain. Kakakku itu, perkembangan otak dan kognisinya berbeda dengan yang lain. Butuh pendekatan khusus. Tolong jangan begitu keras pada Juni, Ma."

Mama terlihat berpikir. Percakapan kami ini tak biasa. Berat dan mendalam. Aku tahu mama telah melakukan hal semampunya, berusaha melakukan yang terbaik. Tapi sepertinya, bukan yang terbaik yang kakakku butuhkan. Tapi ketepatan. Pendekatan yang lebih humanis tanpa penghakiman. Kemampuan regulasi emosinya masih dipertaruhkan. Dia sering tantrum jika berhadapan dengan orang tuaku.

"Bawa Juni ke psikolog, Ma. Itu yang Juni butuhkan. Supaya kita tahu akar masalah sesungguhnya apa dan bagaimana menanganinya."

Mama terlihat putus asa, alih-alih pasrah.

"Mama takut dia tidak bersedia. Mama sudah coba sejak dia SMP, sebelum dia memutuskan untuk berhenti sekolah. Dia selalu menolak ajakan apapun".

Ketakutan, stigma, skeptis, ragu, energi yang terkuras, beban mental yang berkali lipat, minimnya pengetahuan, terpancar di sayu mata mama. Apakah kesemua itu menyiratkan penyesalan? Aku juga tidak tahu. Aku tidak punya cukup keberanian untuk menanyakan itu. Peran sebagai seorang ibu sudah sangat berat untuk Mama lalui selama bertahun-tahun. Lantas, apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban pikiran yang menjerat mama disaat aku dijerat pikiran betapa bodohnya aku dilahirkan sebagai beban keluarga saat ini?

Mengapa pula perempuan seperti mama harus menanggung morat-maritnya peran perempuan yang kompleks diusianya yang masih belia saat itu? Mengapa mama harus kehilangan masa mudanya lebih cepat? Mengapa mama harus ditakdirkan mendampingi bapak? Mengapa kakek begitu tega menikahkan mama diusianya yang masih layak menempuh pendidikan yang lebih tinggi? Ah persetan dengan kultur patriarki.

Pertanyaan gugatan itu menggema di puncak kepalaku. Mendekam di kepala, seperti tubuhku yang mendekam di rumah yang bukan rumahku. Dan tak juga aku merasa kerasan di rumah masa kecilku. Seperti ada ikatan kuat untuk melangkah pergi, melangkah mencari rumah yang selama ini belum kutemukan. Aku bahkan tidak punya ruang di rumah masa kecilku. Perasaan untuk merasa pulang ke rumah telah tandas entah sejak kapan. Aku lebih lega ketika pergi dibandingkan ketika pulang. Terkutukkah aku karena perasaan itu? Aku merasa lebih berdosa jika berpura-pura bertahan di rumah yang tak lagi ada hatiku di sana.

Aku tidak pernah membenci siapapun di rumah itu. Tidak juga bapak, tidak juga mama, tidak juga Juni. Aku hanya butuh ruang untuk mengenali diriku sekali lagi. Aku hanya butuh ruang untuk menerima diriku sekali lagi. Aku hanya butuh ruang untuk belajar mencintai takdirku sekali lagi. Sekali saja. Perjalanan yang panjang di kota-kota yang jauh bahkan di negeri-negeri yang asing selalu mampir di ingatanku untuk memperbaiki nasib baikku. Aku ingin pergi, mengelana dan mengenali tempat-tempat dan orang-orang baru, juga menjemput versi jiwaku yang baru. Jiwa yang lebih terbuka akan kehidupan yang berbeda, jiwa yang lebih maklum akan kesalahan-kesalahan, jiwa yang lebih kuat setelah dihempas banyak halang rintang ditiap perjalanan, dan jiwa yang lebih murni menerima manusia lain sebagai teman sekaligus guru dalam perjalanan hidupku. Aku ingin lebih hidup dengan menempuh beberapa perjalanan jauh.

Seusai percakapan-percakapan antara aku dan mama mengenai Juni, mama tak pernah lagi membahas kelanjutannya. Mama tak lagi mengusikku, mungkin beliau tak ingin mengganggu kepelikanku dalam menyelesaikan studi strata satu. Tetapi, diam-diam kusemogakan agar aku dimampukan Tuhan untuk membantu mama menjaga dan membimbing Juni. Setidaknya, setelah Tuhan cukupkan ilmu dan kemampuanku untuk menjaga manusia selain diriku sendiri. Detik ini, aku belum stabil. Aku belum yakin bisa menjaga diriku sendiri sepenuhnya. Aku masih mencari-cari cara. Aku masih mencari-cari kesempatan untuk belajar menstabilkan hidupku. Aku masih belajar untuk memenuhi diriku sebagai perempuan yang utuh dengan beragam pengalaman soal perempuan, belajar menguatkan diri sebagai perempuan tanpa membebankan diri sepenuhnya pada laki-laki.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun