"Ma, tidak seperti itu cara menghadapi Juni. Mama tidak perlu membanding-bandingkan dia dengan anak lain. Kakakku itu, perkembangan otak dan kognisinya berbeda dengan yang lain. Butuh pendekatan khusus. Tolong jangan begitu keras pada Juni, Ma."
Mama terlihat berpikir. Percakapan kami ini tak biasa. Berat dan mendalam. Aku tahu mama telah melakukan hal semampunya, berusaha melakukan yang terbaik. Tapi sepertinya, bukan yang terbaik yang kakakku butuhkan. Tapi ketepatan. Pendekatan yang lebih humanis tanpa penghakiman. Kemampuan regulasi emosinya masih dipertaruhkan. Dia sering tantrum jika berhadapan dengan orang tuaku.
"Bawa Juni ke psikolog, Ma. Itu yang Juni butuhkan. Supaya kita tahu akar masalah sesungguhnya apa dan bagaimana menanganinya."
Mama terlihat putus asa, alih-alih pasrah.
"Mama takut dia tidak bersedia. Mama sudah coba sejak dia SMP, sebelum dia memutuskan untuk berhenti sekolah. Dia selalu menolak ajakan apapun".
Ketakutan, stigma, skeptis, ragu, energi yang terkuras, beban mental yang berkali lipat, minimnya pengetahuan, terpancar di sayu mata mama. Apakah kesemua itu menyiratkan penyesalan? Aku juga tidak tahu. Aku tidak punya cukup keberanian untuk menanyakan itu. Peran sebagai seorang ibu sudah sangat berat untuk Mama lalui selama bertahun-tahun. Lantas, apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan beban pikiran yang menjerat mama disaat aku dijerat pikiran betapa bodohnya aku dilahirkan sebagai beban keluarga saat ini?
Mengapa pula perempuan seperti mama harus menanggung morat-maritnya peran perempuan yang kompleks diusianya yang masih belia saat itu? Mengapa mama harus kehilangan masa mudanya lebih cepat? Mengapa mama harus ditakdirkan mendampingi bapak? Mengapa kakek begitu tega menikahkan mama diusianya yang masih layak menempuh pendidikan yang lebih tinggi? Ah persetan dengan kultur patriarki.
Pertanyaan gugatan itu menggema di puncak kepalaku. Mendekam di kepala, seperti tubuhku yang mendekam di rumah yang bukan rumahku. Dan tak juga aku merasa kerasan di rumah masa kecilku. Seperti ada ikatan kuat untuk melangkah pergi, melangkah mencari rumah yang selama ini belum kutemukan. Aku bahkan tidak punya ruang di rumah masa kecilku. Perasaan untuk merasa pulang ke rumah telah tandas entah sejak kapan. Aku lebih lega ketika pergi dibandingkan ketika pulang. Terkutukkah aku karena perasaan itu? Aku merasa lebih berdosa jika berpura-pura bertahan di rumah yang tak lagi ada hatiku di sana.
Aku tidak pernah membenci siapapun di rumah itu. Tidak juga bapak, tidak juga mama, tidak juga Juni. Aku hanya butuh ruang untuk mengenali diriku sekali lagi. Aku hanya butuh ruang untuk menerima diriku sekali lagi. Aku hanya butuh ruang untuk belajar mencintai takdirku sekali lagi. Sekali saja. Perjalanan yang panjang di kota-kota yang jauh bahkan di negeri-negeri yang asing selalu mampir di ingatanku untuk memperbaiki nasib baikku. Aku ingin pergi, mengelana dan mengenali tempat-tempat dan orang-orang baru, juga menjemput versi jiwaku yang baru. Jiwa yang lebih terbuka akan kehidupan yang berbeda, jiwa yang lebih maklum akan kesalahan-kesalahan, jiwa yang lebih kuat setelah dihempas banyak halang rintang ditiap perjalanan, dan jiwa yang lebih murni menerima manusia lain sebagai teman sekaligus guru dalam perjalanan hidupku. Aku ingin lebih hidup dengan menempuh beberapa perjalanan jauh.
Seusai percakapan-percakapan antara aku dan mama mengenai Juni, mama tak pernah lagi membahas kelanjutannya. Mama tak lagi mengusikku, mungkin beliau tak ingin mengganggu kepelikanku dalam menyelesaikan studi strata satu. Tetapi, diam-diam kusemogakan agar aku dimampukan Tuhan untuk membantu mama menjaga dan membimbing Juni. Setidaknya, setelah Tuhan cukupkan ilmu dan kemampuanku untuk menjaga manusia selain diriku sendiri. Detik ini, aku belum stabil. Aku belum yakin bisa menjaga diriku sendiri sepenuhnya. Aku masih mencari-cari cara. Aku masih mencari-cari kesempatan untuk belajar menstabilkan hidupku. Aku masih belajar untuk memenuhi diriku sebagai perempuan yang utuh dengan beragam pengalaman soal perempuan, belajar menguatkan diri sebagai perempuan tanpa membebankan diri sepenuhnya pada laki-laki.