Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paradoks dan Hari-Hari Perayaan Festival Sastra

17 Juni 2023   00:56 Diperbarui: 17 Juni 2023   00:59 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pulang jam berapa malam ini, dek?"

Pertanyaan serupa diempat hari berturut-turut. Pesan tanya itu bernada khawatir, pikirku. Aku menimbang-nimbang jawaban, sepertinya aku tidak bisa pulang pada pukul sembilan malam atau pukul sembilan tiga puluh seperti tiga hari sebelumnya. Situasinya tidak memungkinkan, apalagi ini malam terakhir. Rasanya tidak ingin buru-buru berpisah, tidak ingin buru-buru menanggalkan jejak. Tahun depan terasa begitu panjang jika dinantikan sekarang, apalagi jika dinanti dengan kerinduan. Satu-satunya agenda festival yang masih tersisa ketika aku membaca pesan tanya kakak sulung, ya tentu memilah sampah. Disela memilah sampah organik, kertas, plastik, puntung rokok dan sampah-sampah residu, aku mengetik balasan untuk pulang pukul sebelas malam.

"Bisa minta tolong jemput kak?"

Permintaan serupa dengan tahun lalu di malam terakhir festival. Permintaan dijemput padahal aku tahu jika kakakku adalah pengendara yang tidak kenal pelan-pelan kecuali saat lampu merah menyala. Pikiran dan nyawa kuizinkan terbang dan bertabrakan dengan angin malam. Kencang tapi menenangkan.

Pukul sebelas lewat lima belas, notifikasi WhatsApp muncul di layar gawaiku. Tangan kiriku memegangi gawai dan tangan kanan sibuk memegangi karung berisi dosa-dosa lingkungan seusai festival sastra dihelat. Aku membasuh kedua tanganku terlebih dahulu, memastikan agar tak ada noda dan bau sampah yang tersisa. Lalu langkahku kupercepat menuju parkiran. Seusai menyaksikanku tiba di hadapannya, kakak sulung menyodorkan sebuah helm berwarna merah jambu dengan motif kupu-kupu. Kami melesat dari jalan Ujung Pandang malam itu tanpa percakapan yang panjang, aku masih menahan sesuatu di kepalaku.

"Kak, aku resign sebagai copywriter di kantor"

Belum ada tanggapan, aku menggigit bibir bawahku. Entah dia mendengarkan atau tidak ataukah sedang menimbang-nimbang jawaban. Jeda pernyataanku dan tanggapan yang kunantikan dari kakakku semakin menyita waktu dan dingin mulai menusuk jemari kakiku, malam itu aku mengenakan sandal gunung tanpa kaus kaki.

"Kamu pantas dapat yang lebih baik, dek"

Tanggapannya diluar prediksiku. Saat aku kegirangan mendapatkan pekerjaan itu, kakakkulah orang pertama yang paling sadis mengkritikku, aku pikir ia tak mendukungku sama sekali.

"Temukan tempat yang mampu menghargai tulisanmu."

Aku mengira kakakku tak percaya pada tulisan-tulisanku, saat ia menentang keputusanku kala itu, aku sesenggukan di perjalanan pulang dari kantor. Rupanya, ada sesuatu yang luput kakak utarakan, ya? Apapun yang belum aku dengar, belum tentu seburuk itu. Dan masih banyak percakapan-percakapan yang belum aku dengar dan tak pernah melibatkanku, sebab Tuhan menjaga agar aku tak terluka terlalu jauh.

"Bagaimana kalau keputusanku tidak tepat, kak?"

Kakakku menambah laju kendaraan, meliuk-liuk di jalan, sambil sesekali memastikan apakah aku masih terjaga atau malah tertidur.

"Perasaanmu bagaimana setelah mengambil keputusan itu?"

Aku malah berpikir alih-alih meraba perasaanku. Tapi aku tak kehilangan jawaban untuk pertanyaan itu.

"Aku lebih tenang kak"

Kakakku menambah kecepatan lagi, setelah melewati lampu merah di sekitar pintu 1 Universitas Hasanuddin. Aku masih menanti tanggapannya karena perjalanan kami masih lumayan jauh menuju rumah. Masih lengang, entah apa yang ada di benak kakakku.

"Berarti keputusanmu sudah tepat, tidak perlu ragu kalau sudah dipertimbangkan dengan matang. Ukur kapasitasmu jangan paksakan apapun".

Aku menjadikan tanggapan itu sebagai penutup percakapan kami di atas motor. Entah mengapa udara Makassar kian terasa dingin, tapi juga terasa hangat. Paradoks. Seperti kakakku yang menjadi kritikus nomor satu pada pilihan-pilihan karir dan masa depanku. Eh ralat, kritikus nomor dua setelah bapak. Tapi disisi lain, kakakkulah yang paling siap membantuku ketika terjadi hal buruk diluar perencanaanku. Kakakkulah yang paling pertama mencari dan menanyakan keberadaanku. Kakakkulah yang akan selalu bersedia menjemputku dimalam terakhir festival sastra dan selalu memastikan perjalananku baik-baik saja.

Tak ada yang lain, satu-satunya manusia paradoks yang menguatkan tiap retakan langkah dan ketidaksempurnaan perjalananku. Seutuhnya, selalu kuucapkan terima kasih di sepanjang perjalanan hidupku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun