Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Espresso & Kegetiran Sepuluh Tahun Lalu

3 Juni 2023   20:11 Diperbarui: 3 Juni 2023   21:25 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/375206212717922660/ 

"Hahahaha kamu bisa saja, Ngit. Tentu aku masih menulis. Masih akan terus menulis meskipun masih belum juga diterima keluargaku. Sampai hari ini, aku belum paham mengapa sesulit itu mereka percaya pada tulisanku."

Langit menangkap kegetiran dibalik ucapan terakhir yang melesat di lisanku. Entah dia takjub atau mungkin tak habis pikir menyaksikan teman kecilnya masih sangat keras kepala seperti sepuluh tahun lalu.

Menjadi anak terakhir seperti tercekam di ujung gedung pencakar langit, salah langkah sedikit akan tidak karuan dampaknya ke keluarga. Dibesarkan dengan penuh ketakutan akan karir dan masa depan tak jarang membuatku muak. Dengan cara apa lagi ya, aku harus meyakinkan mereka? Aku sama sekali tidak pandai membenci siapapun, tapi aku terlalu pandai membenci dan marah pada diriku. Padahal, ini bukan salah siapa-siapa, apalagi salahku. Ini hanya bagian dari fase dewasa yang menyebalkan. Fase transisi ke transisi yang terburu-buru, terjal, menguras emosi dan energi dan membuatku sesekali kesulitan bernapas. Kaki bergetar hebat dihadapan masa depanku sendiri. Apakah aku akan terus mengecewakan orang-orang terkasih dalam hidupku?

Secangkir espresso itu menemaniku hingga petang, bahkan hingga Langit berpamitan. Meninggalkanku bersama kecemasanku di sini, bersama seluruh upaya yang masih kupegang di sini. Bersama nyala-redup harapan yang bersusah payah kujaga sepanjang usiaku. Aku tidak tahu, seberapa jauh aku akan bertahan dengan pendirian dan berjuang mendapatkan kemerdekaan dalam hidupku. Kemerdekaan memilih jalan hidup sendiri, kemerdekaan untuk tidak mendengarkan suara-suara yang mengecilkan potensi dan mimpi-mimpiku. Aku tidak punya cukup energi untuk menjelaskan segalanya pada mereka, energiku kuhabiskan untuk bersikeras bertahan. Entah. Entah dengan cara apa lagi aku harus membuktikan bahwa aku sungguh-sungguh pada impianku. Entah dengan cara apa lagi aku harus meyakinkan mereka yang lebih mapan?

Aku tidak ingin percaya pada suara yang meragukanku. Tapi, di sepanjang jalan ini, aku tetap merasa kesakitan. Aku belum ingin berhenti, aku paham konsekuensinya. Semakin dekat aku dengan impianku, maka akan semakin terasa penderitaan di pundak, kepala bahkan hatiku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun