Mohon tunggu...
desy magdalena
desy magdalena Mohon Tunggu... -

friendly

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kehidupan Seorang Pemulung

18 Januari 2015   00:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan Seorang Pemulung

Malioboro adalah tempat wisata yang banyak diminati oleh para penduduk masyarakat Yogyakarta karena menjual berbagai macam jenis-jenis barang yang lumayan relatif murah. Berbagai macam profesi orang mencari uang di daerah malioboro untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari tanpa mengenal rasa lelah sekalipun, mereka tetap bekerja keras di bawah terik matahari yang panas maupun dalam cuaca hujan di pingiran jalan malioboro.

Pada saat aku berjalan kaki dipinggir jalan malioboro, aku melihat seorang bapak yang sudah tua sedang mencari-cari botol minuman bekas di tempat sampah dan sambil membawa sebuah karung goni besar untuk tempat barang-barang bekas yang sudah dia kumpulin dari tempat-tempat sampah yang ada di sekitaran jalan malioboro. Aku memperhatikan bapak itu ketika sedang mencari-cari botol minuman bekas dan juga pada saat membongkar-bongkar tempat sampah. Sungguh semangatnya bapak itu ketika berjalan kaki sambil membawa karung goni yang sudah berisikan barang-barang bekas dan mencari-cari tempat sampah lainnya yang ada di pinggiran jalan. Aku mulai mendekati bapak itu ketika dia sedang beristirahat sebentar dan duduk di bawah pohon. Ketika aku sedang mendekatinya dan duduk disebelahnya tanpa sengaja aku mengajak bapak itu mengobrol tentang kehidupannya sehari-hari dan bapak itu pun tidak keberatan.

Bapak itu bernama pak slamet, kesehariannya sehari-hari adalah seorang pemulung untuk memenuhi kehidupannya sehari-hari. Dalam keluarganya bapak itu mempunyai seorang istri yang bekerja sebagai petani dan mempunyai dua orang anak yang masih duduk di bangku sekolah. Pak slamet memeng berasal dari keluarga yang kurang mampu, kedua orang tuannya sudah lama meninggal dunia sehingga inilah salah satu alasan bapak itu kenapa menjadi seorang pemulung. Apalagi pak slamet sebagai tulang punggung di keluarganya dan harus menyekolahkan kedua anaknya. Dulunya pak slamet pernah bekerja di perusahaan karena gajinya yang minim, bapak itu mencari pekerjaan di tempat lain sebagai penjaga took, bekerja di pabrik kayu dan juga pernah bekerja di Kalimantan. Pak slamet tidak mempunyai modal untuk membuka usah-usaha kecil di Yogyakarta karena gajinya yang tidak seberapa dan hanya cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari. Pak slamet setiap harinya hanya mencari barang-barang bekas di sekitaran jalan malioboro dan tempat pembuangan sampah di Yogyakarta.

Pak slamet sangat bersyukur dengan pekerjaannya yang dia jalani sekarang. Dia tidak pernah malu sebagai seorang pemulung yang bisanya hanya mencari-cari barang-barang bekas di jalanan dan di tempat-tempat sampah karena bapak itu mengatakan bahwa dia mencari uang dengan cara yang halal dari pada yang bisanya hanya bisa korupsi mendingan kita mencari uang dengan hasil keringat kita sendiri, jadi untuk apa kita malu dengan profesi kita selagi itu tidak merugikan orang lain. Pak slamet tetap bersyukur dan sangat menikmati kehidupannya yang sekarang, walaupun hanya sebagai seorang pemulung. Apalagi di usianya yang tidak muda lagi, dia tidak pernah lelah bekerja setiap hari untuk mencari barang-barang bekas yang ada di jalanan dan di tempat-tempat sampah.

Menjadi seorang pemulung bukanlah suatu cita-cita yang mereka harapkan dan inginkan. Ini merupakan salah satu keadaanlah yang memaksa mereka untuk menekuni pekerjaan ini. Modal yang mereka perlukan tidaklah begitu banyak, hanya bermodalkan karung goni dan keberanian diri. Karung goni untuk menempatkan hasil barang-barang bekas dan keberanian seorang pemulung sangat di perlukan karena mereka akan banyak menghadapi segala berbagai macam orang-orang yang akan mencibir dan mencemooh mereka sebagai seorang pemulung karena kebanyakan orang menganggap bahwa para pemulung adalah sampah masyarakat, jorok tidak sehat dan bahkan banyak juga orang yang akan menutup hidungnya ketika para pemulung membawa barang-barang bekas yang bau, kotor dan lewat di dekat mereka. Hal yang wajar tetapi alangkah baiknya bila kita dapat menghargai orang yang mempunyai profesi sebagai seorang pemulung karena mereka sama dengan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan jangan karena mereka seorang pemulung maka kita berhak menjauhi, menghina dan menganggap mereka rendah di mata kita.

Saya dapat banyak pelajaran tentang sebuah hidup yang penuh perjuangan dari bapak slamet karena seorang bapak yang sudah bisa di bilang tua mempunyai sebuah kelebihan yang belum tentu di miliki semua orang. Bapak itu memiliki sikap kesabaran yang luar biasa yang membuat bapak itu tetap tersenyum menjalani hidupnya sehari-hari sebagai seorang pemulung. Kerja keras banting tulang dan bapak itu memiliki kekuatan untuk tetap mencari barang-barang bekas walaupun di bawah panasnya terik matahari dan derasnya hujan yang bisa membuat mereka jatuh sakit demi hanya untuk mencari sesuap nasi dan bapak itu memiliki sebuah keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan keadaan yang lebih baik lagi dari sekarang yang sedang di jalani saat ini dengan sebuah kerja keras yang pantang menyerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun