Suku pamona adalah salah satu suku yang tersebar luas di sekitaran Sulawesi, namun paling banyak dijumpai di Sulawesi Tengah karena suku pamona awalnya tumbuh dan besar di sana. Suku pamona sendiri memiliki hari raya dalam merayakan syukur panen yang disebut Padungku.
Padungku, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut pesta panen, adalah tradisi khusus yang dilakukan suku pamona atas panen yang sudah didapatkan hasilnya. Padungku merupakan perayaan syukur panen yang berlangsung selama satu hari yang harus dilakukan tidak boleh lewat dari akhir bulan juni atau awal bulan juli, karena pada zaman dahulu orang-orang akan turun menanam padi di ladang setelah waktu tersebut. Meskipun merupakan perayaan pesta syukur ini sudah lekat dengan suku pamona, namun pada beberapa tempa penentuan hari perayaannya tidak ditentukan oleh ketua adat, lho.
Di desa Maleku, tepatnya di Mangkutana sendiri masyarakat suku pamona lebih mengikuti arahan dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). Saya pun menanyakan hal tersebut kepada salah satu warga yang memang mengenal baik tradisi padungku ini. Ia menuturkan bahwa memang penentuan hari perayaan ditentukan oleh kepala desa dan dari GKST. Jangan salah, memang nampaknya seperti gereja biasa saja, namun gereja ini memiliki andil besar di Sulawesi tengah.Â
"Memang untuk perayaan padungku ini, harusnya ada pertemuan untuk menyepakati tanggal padungku di kepala desa bersama tokoh masyarakat, namun masyarakat lebih cenderung berkiblat pada keputusan gereja GKST," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa untuk menentukan kapan pastinya tanggal perayaan padungku ini, pihak GKST terlebih dahulu akan mengadakan rapat sinode untuk menentukan tanggal dari perayaan padungku ini. Jika sudah ditentukan, maka masyarakat akan mempersiapkan diri dua hari sebelum waktu padungku dilaksanakan.
"Sebelum padungku dilaksanakan, akan dilakukan terlebih dulu rapat sinode untuk penentuan pastinya padungku itu. Setelah sudah diadakan rapat, nantinya akan diberitahukan kepada gereja-gereja dan masyarakat bahwa inilah tanggal resminya padungku," tutupnya.
Dua hari sebelum padungku ini, masyarakat terlebih dahulu datang ke gereja untuk ibadah syukur sebelum perayaan padungku resmi di buka. Saat padungku, setiap keluarga dan teman-teman akan saling mengunjungi rumah satu dengan lainnya, dan setiap rumah yang dikunjungi harus melayani setiap tamu yang datang, bahkan jika orang asing sekalipun akan diberi hidangan jika datang bertamu di hari padungku. Ada beberapa rumah yang tetap melayani tamu hingga larut malam, namun ada juga yang tidak. Di dalam merayakan padungku juga akan diadakan madero, yaitu tarian khas pamona dimana semua orang membentuk lingkaran sambil memegang tangan dan menari diiringi lagu dero yang kini semakin modern.Â
Padungku dirayakan oleh para nenek moyang suku pamona pada zaman dahulu sebagai rasa syukur mereka atas didapatkannya hasil panen. Dulu, nenek moyang suku pamona belum mengenal cara menanam di sawah, namun menanam di ladang yang mana membutuhkan usaha yang ekstra. Uniknya, hasil panen yang dominan disyukuri adalah padi, bukannya buah-buahan. Ini karena padi dianggap sebagai makanan pokok masyarakat, sedangkan hasil panen buah-buahan dianggap tidak menentu tiap tahunnya.
Dalam merayakan padungku, masyakarat dan keluarga akan saling membantu satu sama lain sebagaimana halnya dulu suku pamona saling membantu satu sama lain dalam menanam padi di ladang, begitu pula dalam memasak makanan untuk padungku. Dalam padungku, akan selalu ada satu makanan khas yang tak pernah luput disajikan, yaitu nuyu.Â
Nuyu, atau yang dalam bahasa Indonesia disebut nasi bambu, adalah makanan yang harus selalu ada di dalam perayaan padungku ini. Nuyu harus ada karena menjadi lambang beras pertama yang dipanen. Nuyu juga menjadi 'oleh-oleh' wajib yang harus dibawa oleh para tamu yang berkunjung di rumah yang sedang merayakan padungku. Biasanya akan diberi dua batang nuyu untuk dibawa pulang.
Perayaan padungku ini akan selalu ada dan tetap dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat suku pamona pada Tuhan dalam memberkati sawah dan panen mereka. Meskipun masyarakat tidak memiliki sawah atau kebun, perayaan padungku ini akan selalu tetap dirayakan karena suku pamona percaya bahwa mereka juga menerima berkat dari Tuhan dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya melalui beras yang telah dipanen.