4. Transparansi dan keterbukaan, BPRS Syariah Mojo Artho dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi yang jelas kepada nasabah mengenai produk, risiko dan biaya yang terkait dengan layanan keuangan yang diberikan.
5. Kepatuhan internal, sudah menjadi kewajiban bagi pihak internal untuk menjalankan operasional bank sesuai dengan prinsip syariah. Namun di BPRS Syariah Mojo Artho justru terjadi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan sendiri bagi pihak internal bank. Maka dari sini perlu adanya sistem pengawasan internal yang efektif untuk memastikan tidak adanya penyalahgunaan wewenang.
Norma-Norma hukum yang terkait dengan kasus BPRS Syariah Mojo Artho tersebut diantaranya:
1. Norma agama, BPRS Syariah Mojo Artho dalam hal ini telah melanggar prinsip transparansi dalam akad, seperti tidak menjelaskan secara jelas mengenai biaya atau risiko yang akan ditanggung para nasabah.
3. Norma etika, praktik yang tidak profesional atau tidak etis dalam menangani nasabah, seperti penipuan dan penyalahgunaan wewenang terjadi di BPRS Syariah Mojo Artho ini.
3. Norma Akuntanbilitas, kurangnya transparansi dalam laporan keuangan yang menyebabkan informasi yang tidak benar yang berdampak serius pada para nasabah.Â
4. Norma perlindungan konsumen atau nasabah, BPRS Syariah Mojo Artho tidak mempertimbangkan aspek perlindungan kepada nasabahnya hal ini dapat diketahui dengan analisis kredit yang tidak sesuai aturan yang merugikan para nasabah yang menyimpan uang di bank tersebut.Â
Aturan-aturan hukum yang terkait dengan kasus BPRS Syariah Mojo Artho tersebut diantaranya:Â
1. Undang-Undang Nomer 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 tentang pepmberantasan tindak pidana korupsi, yang mencakup penggelapan, penyalahgunaan wewenang dan gratifikasi.
2. Undang-Undang Nomer 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mangatur prinsip kehati-hatian dan transparansi dalam pengelolaan dana.
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 47/POJK.03/2016 Tentang transparansi dan publikasi laporan keuangan.