Tumben hari ini Stasiun kereta api cepat Whoosh Halim ramai sekali, pikirku dalam hati. Â Padahal tidak weekend, dan bukan musim liburan sekolah. Â Setahuku di Bandung juga tidak ada acara apapun yang istimewa. Â "Haiyaaa..... panas Jakarta kok yah totalitas sekali. Â Kebanting kulit ini dengan sejuknya kota Bandung." Â Mulutku ini tidak bisa kompromi mengeluh, sambil aku merapikan ikatan rambut.
"Taxinya bu," tetiba petugas taxi berwarna biru dan berlogo burung mengejutkanku. Â Lalu aku menganggukan kepala, dan sigapnya koper kecilku pun langsung dibantu dibawakannya. Â "Kantong plastiknya biarkan saya yang bawa mas." Â Ucapku mengamankan oleh-oleh kue kering dari Bandung, khawatir aku toplesnya meluncur. Â Iya, itu kue kering untuk persiapan menyambut Natal nanti yang sengaja kubawa dari Bandung.
Beberapa saat sejuk rasanya menikmati AC dalam taxi yang mulai laju. Â "Ramai banget yah pak hari ini," aku membuka percakapan. Â Yup, aku memang tidak bisa menjadi patung jika naik taxi. Â Sebagai penulis, kesempatan bertemu orang adalah materi untuk tulisanku.
"Beberapa hari lalu sempat hujan bu. Â Tidak besar, tetapi lumayan awet. Â Di Bandung hujan terus yah bu? Â Pasti semakin bertambah sejuknya." Â Ramah dan lancar sekali si bapak menyambut percakapanku. Â Bisa jadi bapak ini juga satu tipe denganku, tidak betah diam-diaman.
"Berapa harga karcis Whoosh sekarang bu? Â Kalau murah, anak saya minta diajak coba naik Whoosh. Â Tetapi nanti jika kuliahnya di Surabaya sudah libur.
Kamipun terlibat dalam percakapan yang seru. Â Bahkan aku jadi kagum karena anak si bapak ini rupanya berkuliah di jurusan Informatika Universitas Airlangga (Unair). Â Bertambah kagumku Unair didapatnya melalui jalur undangan (SNMPTN) dan saat ini putranya tersebutpun berkuliah dengan beasiswa. Â Bak bonus kagum, bahkan anaknya ini sudah mendapatkan beasiswa sedari SMA! Â Wow....!!!
Jadi pak, untuk naik Whoosh tidak ada harga karcis yang pasti. Â Selain dilihat dari kelasnya yang dibagi 3, yaitu VIP, Bisnis dan Ekonomi, juga dilihat dari jam keberangkatannya. Â Kurang lebihnya begitu pak, dan ajak sajalah putra bapak itu mencoba. Â Ambil yang bisnis, seperti saya ini. Â Nggak penting kelaslah, sampainya juga barengan," kataku, dan kamipun tertawa pertanda satu pemikiran tampaknya.
Percakapan kami loncat sana dan sini. Â Namun si bapak fokus menanyakan pendidikan. Â Tentang beasiswa LPDP, IISMA dan juga tentang anak keduanya yang mendapatkan kesempatan akselerasi.
Puji Tuhan, aku bisa menjawabnya dan dimengertinya dengan baik. Â Sedikit banyak dikarenakan suka menulis dan pernah dipercaya sebagai perwakilan kelas membuat aku cukup paham mengenai yang ditanyakannya. Â Meski bertanya juga dalam hati ini. Â "Tumben banget ada seorang bapak sebegitunya menanyakan informasi pendidikan anak-anaknya. Â Sebegitunya rasa bangga itu sangat bisa aku rasakan."
Tidak butuh lama dan mengalir saja bapak tersebut menceritakan dirinya. Â Siapa sangka bapak ini lulusan Fakultas Teknik Sipil UGM dan sebelumnya menduduki posisi nyaman di sebuah perusahaan kontraktor. Â Tetapi hidup adalah sebuah pilihan begitulah adanya. Â Bapak ini memilih berhenti dari pekerjaannya dan fokus mengurus istrinya. Â Hingga akhirnya kematian memisahkan mereka. Â Selanjut ada tiga buah hati yang menjadi tanggungjawabnya.