Mohon tunggu...
Desyana Rizky Dirgantarie
Desyana Rizky Dirgantarie Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

Memang baik menjadi orang hebat, tapi lebih hebat menjadi orang baik

Selanjutnya

Tutup

Book

Keadilan Gender dalam Hukum Waris Islam Perspektif Muslim Kontemporer

14 Maret 2023   16:35 Diperbarui: 14 Maret 2023   16:41 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Kewarisan Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan Hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Ada lima asas-asas hukum waris islam diantara lainnya adalah Asas Ijbari, Asas Liberal, Asas Individual, Asas Keadilan Berimbang, dan Asas Semata Akibat Kematian.
1. Asas Ijbari
Hukum kewarisan Islam secara langsung peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Asas ini dapat dilihat dari dalam tiga segi diantara lainnya: Pertama, dari segi peralihan harta, maksudnya disini ketika pewaris meninggal secara otomatis harta warisan pindah kepada ahli waris. Kedua, segi jumlah harta yang beralih, maksudnya disini bahwa bagian hak ahli waris sudah ditentukan masing-masing bagiannya, tidak boleh menambahkan maupun menguranginya. Ketiga, segi kepada siapa harta tersebut beralih, maksudnya disini orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan secara pasti yaitu mereka yang mempunyai darah dan pernikahan tersebut.
2. Asas Bilateral
Ahli waris menerima harta warisan dari segi keturunan atau kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan.
3. Asas Individual
Harta warisan dari pewaris yang telah diterima oleh ahli warisnya, dapat dimiliki secara individu perorangan. Jadi bagian-bagian setiap ahli waris tidak terikat dengan ahli waris lainnya.
4. Asas Keadilan Berimbang
Dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan dari garis keturunan pihak perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Antara laki-laki dengan perempuan keduanya mempunyai hak menerima harta warisan dari pewaris, namun tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan berbeda, laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, yang mengatur rumah tangga.
5. Asas Semesta Akibat Kematian
Kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal asas dasar wasiat yang dibuat saat pewaris masih hidup.
Banyak yang belum memahami secara utuh apa itu gender. Pada umumnya, bahwa masyarakat memahami gender sama dengan jenis kelamin atau disebut dengan seks. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Sifat gender yang melekat pada perempuan misalnya perempuan dianggap lemah lembut, cantik, penyabar dan penyayang. Sedangkan laki-laki dianggap jantan, kuat serta perkasa.
Jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin yang sudah ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya laki laki itu manusia yang memiliki penis, sperma dan jakun. Sedangkan perempuan manusia yang memiliki vagina, rahim, dan alat menyusui. Alat-alat tersebut bersifat permanen secara biologis yang merupakan pemberian Tuhan yang kemudian disebut dengan Kodrat.
Demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara gender dan jenis kelamin. Gender adalah karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibentuk didalam lingkungannya. Sedangkan jenis kelamin adalah perbedaan biologis seorang laki-laki dan perempuan yang sudah dibawa sejak lahir.

Menurut syahrur tokoh muslim kontemporer, Bahwa Allah tidak membeda bedakan antara laki-laki dan perempuan. Dan didalam al-Quran telah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sebagai dua mahluk yang sepadan, seperti dalam masalah kewarisan yang kedua-duanya berhak untuk mendapat bagian harta waris. Hal yang paling menonjol didalam hukum kewarisan Islam adalah keadilan, sebagaimana yang kita ketahui bahwa keadilan merupakan salah satu asas yang terdapat didalam hukum waris Islam. Asas keadilan dalam hukum kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan dari garis keturunan pihak perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Antara laki-laki dengan perempuan keduanya mempunyai hak menerima harta warisan dari pewaris, akan tetapi tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan berbeda, laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, yang mengatur rumah tangga. 

Pembagian kewarisan yang menggunakan porsi 2:1 inilah yang sering kali dipertanyakan, digugat, atau bahkan dihujat oleh sebagian pihak yang tidak puas, sehingga memunculkan argumentasi untuk menekan supaya para pakar hukum Islam menyamaratakan pembagian kewarisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, di samping penyamarataan antara bagian suami dengan bagian istri. Menurut mereka, konsep keadilan itu adalah mendapatkan hak yang sama dan jumlah yang sama, yaitu 1:1. Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita; sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa ayat 34.

Perbedaan porsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki- laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan. Pada QS. An-Nisa ayat 11 menjelaskan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat perempuan. Dalam konteks ini Syahrur menjelaskan bahwa laki-laki adalah batas maksimal dan tidak bisa ditambah lagi, sementara perempuan adalah batas minimal, jadi dalam kondisi tertentu seorang perempuan berpotensi mempunyai bagian lebih.

Sedangkan dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zaid, perempuan adalah setara dengan laki-laki dalam kapasistas satu entitas sebagai manusia dan sebagai hamba Allah SWT. Terbukanya ruang yang bagi manusia baik laki-laki dan perempuan dalam berbagai sector kehidupan menjadikan ruang kompetisi tidak lagi berdasarkan jenis kelamin, tetapi kualifikasi akademik dan professional seseorang. Realitas sosial masih mempersepsikan perempuan pada posisi subordinatif sehingga perempuan dibatasi peran-peran publiknya dan seorang perempuan dituntut untuk bisa menyesuaikan dengan tuntutan sosial yang kurang adil terhadap dirinya karena kuatnya idiologi patriarkhis dan tafsir teks keagamaan yang bias gender.

Hamid melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya itu dengan bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana pengakuannya pengantar buku. Di dalam keterusterangannya ia berpijak pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan yang mendalam akan solidaritas Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan atas akal dan kekuatan argumen dan lemah serta kacaunya Islam. Kedua, dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman, penjelasan dan interpretasi karena kepastian- kepastian iman keagamaan adalah aqidah dan ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua pendekatan: pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua, memperbincangkan pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer.

Dengan demikian, kajian gender tentang perempuan dalam Islam mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini kajian gender yang terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang sudah dilakukan ulama terdahulu, semisal dari an-Nawawi dalam kitabnya, Uqudul Lujain fi Bayani Huquqi Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di mana tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh dari tantangan yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya karya tersebut.

Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya kedudukan perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan untuk membaca teks- teks keagamaan dalam makna historisnya dengan maksud menemukan esensi dan mengungkapkan yang tetap (immutable), ketentuan-ketentuan yang tidak bisa berubah (unchangeable dictates) yang kesementaraan dan perubahan. Konteks sosio-kultural tersembunyi di balikmempunyai andil besar dalam menafsirkan sebuah kitab (Al-Qur'an). Ketika "teks" harus dipaksa untuk berpisah dengan kondisi obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari kehancuran dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, Al-Qur'an akhirnya hanya menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan realitas. Al-Qur'an itu sebenarnya historis meski di dalamnya ada kehendak Tuhan yang suprahistoris. Al-Qur'an itu sendiri historis karena diturunkan di tanah Arab dengan menggunakan bahasa Arab yang digunakan saat itu.

Dalam pandangan Nasr Hamid, bagian anak laki-laki yang memperoleh bagian dua kali lipat dari bagian anak perempuan adalah bagian batas maksimal (had al-aqsa) yang tidak boleh melampaui batasan bagian maksimal itu, sekaligus larangan memberikan bagian lebih sedikit dari setengah bagian laki-laki untuk anak perempuan. Hudud Allah berupa batasan-batasan hukum mnyiratkan perlunya pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan Persamaan adalah adanya keserasian bagian antara batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagian perempuan sebagaimana batas-batas yang sudah dibuat Allah.

Kesimpulan
Keadilan gender ini menjadi salah satu isu penting yang dibicarakan oleh semua masyakarat termaksud pada kaum agamawan. Arti dari keadilan dalam hukum kewarisan islam tidak bisa diukur dari tingkatan kesetaraan ahli warisnya, tetapi dilihat dari berapa besar beban ataupun tanggung jawabnya. Dan kewajiban untuk memberi nafkah keluarga adalah tanggung jawabnya seorang laki-laki, maka sudah pantas jika seorang laki-laki bagiannya lebih besar dibandigkan dengan bagian perempuan.
 Asas yang paling menonjol didalam hukum kewarisan islam adalah asas keadilan, sebagaimana yang kita ketahui bahwa keadilan merupakan salah satu asas yang terdapat didalam hukum waris Islam. Asas keadilan dalam hukum kewarisan islam itu harus ada keseimbangan antara dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan dari garis keturunan pihak perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Antara laki-laki dengan perempuan keduanya mempunyai hak menerima harta warisan dari pewaris, akan tetapi tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan berbeda, laki-laki sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, yang mengatur rumah tangga.
Pembagian kewarisan yang menggunakan porsi 2:1 ini yang seringkali dipertanyakan atau bahkan dihujat oleh sebagian pihak yang tidak puas, sehingga memunculkan argumentasi untuk menekan supaya para tokoh hukum islam menyamaratakan pembagian kewarisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, disamping penyamarataan antara bagian suami dengan bagian istri. Menurut mereka, konsep keadilan adalah mendapatkan hak yang sama dan jumlah yang sama yaitu 1:1. Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan.
Perbedaan porsi tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan. Pada QS. An-Nisa ayat 11 menjelaskan bahwa bagian laki-laki dua kali lipat perempuan. Dalam konteks ini para tokoh muslim kontemporer menjelaskan bahwa laki-laki adalah batas maksimal dan tidak bisa ditambah lagi, sedangkan perempuan adalah batas minimal, jadi dalam kondisi tertentu seorang perempuan berpotensi mempunyai bagian lebih.

Kelebihan buku ini merupakan salah satu buku yang berfokus pada penelitian kepustakaan dengan objek penelitian pada teks atau naskah yaitu karya atau buku dari pemikir muslim, untuk penjelasannya mudah dipahami oleh pembaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun