Mohon tunggu...
Fiksiana Pilihan

Sumirah

30 Agustus 2017   20:21 Diperbarui: 30 Agustus 2017   20:46 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Namaku Sumirah, tetangga samping rumah biasa memanggilku mbok sum. "mbok sum nanti kerumah jam dua ya mbok, bantuin nyuci sama bikin kue buat slametan nanti malam" ujar yani. Aku bekerja sebagai buruh cuci dan bantu-bantu seadanya di Rumah-rumah tetangga, biasanya mereka memanggil jika memerlukanku. Aku memiliki dua anak laki-laki sebenarnya, anak pertamaku hilang dilaut saat masih berumur 8 tahun saat itu ia mencoba melaut dengan ayahnya, namun sayang saat itu ombak sedang tak bersahabat dengan dua lelakiku itu. Sedangkan anak keduaku ditembak mati oleh tentara saat berkebun di samping rumah, dalihnya ia kira anakku Panji adalah teroris yang menyusup di desa kami. Aku pernah mengadu pada pihak kepolisian tapi apalah daya uang sepeserpun aku tak punya. Lalu ku relakan Panji melebur pilu dengan tangis dan linu di dadaku.

Aku bukanlah seseorang yang hidup dengan kepercayaan penuh tentang adanya tuhan, tapi aku meyakini bahwa aku hidup di mana negara memiliki peran untuk melindungi hak dan darah yang mengalir di diriku. Saat itu soekarno pernah berkata bahwa "kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan" betapa harusnya tangis saat itu. Namun sayang, rasa banggaku mulai luntur semenjak tentara menembak mati panji tepat di depan bola mataku.

Suatu hari di bulan september tetangga tak adalagi yang memanggil mungkin karena usia yang menua dan tulang yang mulai renta. Tak ada sedikit harta pun ku punya, aku memilih pergi kehutan dekat rumah untuk mencari reramban dari pada minta-minta. Saat itu hutan ditandai dengan papan besar "Tanah Milik Negara" di  tiap hektanya ada tenda-tenda tentara yang menjaga, entah untuk apa aku tak tau. 

Aku adalah wanita tua yang mencoba mencari sesuap apa saja untuk menjanggal lapar di perutku, saat itu aku mengambil ranting-ranting kering disekitar tenda tentara. Ada satu tentara yang melihatku dengan tatapan tajam bagaimana aku tak takut dia jauh lebih besar dan gemuk dariku. "heh sedang apa kamu? Mau nyuri ya" di hantamlah pahaku dengan tongkat yang besar itu. Lalu kujelaskan bahwa aku hanya mengambil rerimpil kayu di Tanah milik negaraku ini dengan tangis yang membanjiri keriput diwajahku. Lalu diperbolehkanlah aku pergi dengan membawa luka di lengan dan pipi sebagai tambahannya.

Keesokan harinya  aku menempuh waktu 3jam berjalan dari gubukku menuju kantor kepolisian terdekat. Aku bercerita bahwa aku ingin mengadu, ingin bertemu dengan nahkoda Negriku ini, aku ingin mengatakan betapa kejinya bala tentara yang nahkodaku agung-agungkan dan ternyata aku hanya mendapat anggukan dan senyum tipis dari wajah mereka. Dan keesokan harinya, aku tak mampu membagi kisah piluku kepada siapapun lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun