Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ironis, Perang Baliho di Era Digital?

19 Januari 2024   02:34 Diperbarui: 19 Januari 2024   02:40 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa ironisnya di tengah gegap gempitanya Indonesia meyakinkan diri sudah berada di era digital.  Tetapi justru menjelang pesta demokrasi sejumlah partai politik beserta kadernya "meracuni" dengan pemasangan baliho demi mensosialisasikan diri kepada masyarakat.  Tragisnya bahkan pemandangan ini banyak ditemui di kota-kota besar?

Padahal keberadaan baliho sebagai alat peraga kampanye (APK) ini telah diatur di dalam Pasal 70 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.  Namun pertanyaannya, apakah yang terjadi di lapangan bisa dipertanggungjawabkan?  Kemudian, apakah baliho masih bisa dikatakan efektif di era serba digital kini?

Maka terdapat dua hal penting sebagai dampak pemasangan baliho, yaitu:

  • Sampah Visual
    Faktanya terlihat seperti sebuah pembenaran, saat ini baliho banyak bertebaran dipasang di berbagai jalan, pepohonan dan tempat-tempat umum lainnya.  Termasuk bahkan di tempat ibadah, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan tempat wisata.  Selain melanggar aturan, secara estetika jelas sangat merusak keindahan.  Selanjutnya, ini juga membahayakan bagi pengguna jalan, sebab bukannya tidak mungkin ada yang tertimpa baliho yang rubuh misalnya.  Bahkan juga ini mengganggu fokus ketika sedang berkendara.

  • Sumber Polusi
    Nyatanya baliho yang memenuhi ruang publik saat ini sebagian besar memakai bahan plastik yang berbahaya bagi lingkungan.  Diketahui plastik merupakan sampah yang paling lama terurai secara alami.  Bayangkan, untuk barang-barang plastik dapat terurai di tanah 1000 tahun lamanya, sedangkan kantong plastik 10 hingga 1000 tahun.  Botol plastik dapat terurai di alam sekitar 450 tahun.  Sehingga betapa mengerikannya melihat tebaran baliho saat ini yang notabene terbuat dari plastik pada umumnya.

Ini kontradiksi dengan visi dan misi yang digaungkan para politisi yang konon memperjuangkan rakyat.  Sementara di saat bersamaan keberlangsungan rakyat tidak diindahkan.  Lalu kepentingan siapa yang sebenarnya sedang diperjuangkan?  Bukankah idealnya, para politisi di negara demokrasi berpolitik dengan menjunjung aturan dan mengedepankan etika, termasuk juga etika lingkungan? 

Sehingga rasanya sangat tepat jika para politisi Indonesia untuk mulai lebih mengedapankan pemanfaatan kampanye di ruang digital.  Selain lebih murah, juga lebih menjangkau masyarakat dengan tepat tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Saat ini keberadaan internet di Indonesia sudah bukan hal asing.  Bahkan hingga pelosok sudah jamak internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.  Artinya, berkampanye di ruang digital akan jauh lebih efektif, murah dan hidup.

Pun masyarakat Indonesia tentunya semakin cerdas dalam memilah dan memilih pemimpin.  Artinya, di dalam berkampanye tidak cukup dengan melihat bentangan baliho.  Mungkin konten-konten kreatif dan interaktif jauh lebih menarik.

Bahkan tidak dapat dipungkiri masyarakat Indonesia tidak lagi hidup bak katak dalam tempurung.  Bahwa nyatanya jualan politik ataupun janji manis para politikus tidak serta merta ditelan bulat-bulat.  Keberadaan ruang digital memungkinkan rakyat mencari/ menelusuri rekam jejak digital sebelum pada akhirnya menjatuhkan pilihan.

Belum lagi jika kita bicara Gen Z yang notabene hidup dalam kemudahan teknologi.  Bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat 55 persen pemilih pada Pemilu 2024 didominasi oleh generasi Z (Gen Z) dan milenial.  Mereka adalah generasi yang hidupnya kebanyakan dihabiskan dengan menikmati media sosial.  Terlepas dari ancaman hoaks, tetapi Gen Z bukanlah generasi yang mudah percaya dengan narasi bombastis.

Kondisi inilah yang harus dicermati dan menjadi pertimbangan para politikus menjelang pesta demokrasi.  Kita setuju, bahwa perjuangan ini berujung untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik.  Sehingga sejatinya cara ataupun jalan yang diambil pun tidaklah merusak ataupun mengorbankan rakyat.

Sekali lagi, dikarenakan keberadaan alat peraga kampanye (APK) telah diatur di dalam Pasal 70 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.  Sehingga sejatinya partai dan kader pun menunjukkan kepatuhan tersebut sebagai bentuk teladan kepada masyarakat.  Berjalan paralel dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana kampanye yang mengedukasi.

Semoga rakyat Indonesia juga cerdas ketika memilih pemimpin ataupun wakilnya di pemerintahan.  Pilihlah yang mengedapankan etika sebagai bentuk tanggungjawab kita terhadap Indonesia!

Jakarta, 19 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun