Ahhh...lama aku tak bercerita padamu diary. Â Bukan tak ada, tapi karena tidak tahu darimana harus memulai. Â Kepala ini terasa penuh. Â Sementara hati terasa luluh tak berdaya. Â Kenapa? Â Entahlah, mungkin aku yang terlalu perasa, ataukah dunia yang semakin menggila karena berujung akhir.
Cerita bermula beberapa waktu lalu. Â Saat kerap aku mendengar percakapan mbak-mbak di sebuah mall dekat rumahku. Â "Ehhmm...tumben itu bocah tidak ada. Â Padahal perut ini sudah mulai lapar. Â Jangan-jangan sakit tuh anak."
Kepo, ingin aku bertanya siapa sih yang diceritakan mereka. Â Bukan sekali dua kali percakapan ini aku dengar. Â Yups.... maklumlah cukup sering aku datang ke mall ini mengirimkan paket untuk putriku yang berkuliah di luar kota. Â Logikaku, pasti bocah yang dimaksud cukuplah akrab untuk mereka.
Hingga berjalannya waktu kemudian. Â Siang itu ketika kembali aku berniat mengirimkan paket. Â "Kuenya bu, enak-enak loh. Â Ada yang asin, dan ada juga yang manis. Â Dibeli bu, untuk teman minum teh. Â Sekotak isi 3 harganya Rp 20,000. Â Tapi kalau ambil 3 kotak cukup Rp 50,000 saja." Â Katanya menjajakan dengan ramah sekali.
Terkesima aku, "Inikah anak yang sering diceritakan mbak-mbak beberapa waktu lalu?" Â Tanyaku dalam hati. Â "Bentar yah dek. Â Aku mau kirim ini dulu. Â Nanti aku kembali." Â Kataku kepadanya, karena memang kotak paket yang kubawa lumayan berat. Â Serta kebetulan aku menguber waktu agar paketku bisa terkirim di hari itu.
Singkat cerita, aku kembali tetapi anak itu entah di mana. Â Mungkin dagangannya sudah habis, atau mungkin pergi menjajakan di tempat lain.
Berlalunya waktu akhirnya membawaku kembali bertemu bocah lelaki ini. Â "Heii...kamu, kenapa waktu itu menghilang? Â Aku tuh nyariin kamu loh setiap kali ke sini." Â Kataku kemudian sambil menghampirinya.Â
Senyumnya begitu polos. Â Tidak hanya bibirnya, tetapi juga matanya sangatlah lugu. Â "Heheh.....maaf, saya kira ibu bohong. Â Saya kira ibu tidak kembali lagi. Â Tadi saya kaget ketika ibu mengenali saya." Â Katanya jujur sekali.
"Hahahah...enggaklah. Â Tega banget kamu mengira saya pembohong." Â Kataku balas bercanda agar dirinya tidak terpojok. Â "Oiya, by the way kamu ini sekolah nggak sih. Â Aku kepo boleh khan?" Â Lanjutku kemudian.
"Sekolahlah ibu, kelas 4 SD. Â Kalau tidak sekolah nggak bisa maju bu. Â Kasihan nanti ibu saya di rumah siapa yang nyenengin. Â Oiya, kue-kue enak ini buatan ibu saya loh. Â Jadinya saya sekolah dulu, kemudian ambil kue buatan ibu untuk dijual. Â Sebisanya sore saya harus segera pulang karena untuk membuat PR dan belajar, begitu kata ibu saya." Â Ceritanya luwes dan dewasa sekali sambil merapikan dagangannya yang aku lihat tinggal beberapa kotak.
Aku tersenyum dan sekaligus ngilu. Â Bagaimana tidak, karena diriku juga memiliki dua buah hati. Â Hanya saja nasib mereka lebih baik dari bocah luarbiasa ini. Â "Aku mau dong ini semua." Â Kataku sambil mengambil, dan sekaligus menghabiskan 5 kotak kue yang tersisa dari tas jualannya.
"Nah ini buat kamu, kasih ibumu yah. Â Janji kamu harus terus sekolah, dan jadi orang hebat." Â Kataku sambil memberikan dua lembar uang kertas berwarna merah.
Tidak bisa aku lupakan wajah bahagianya ketika itu. Â "Terima kasih banyak bu. Â Hari baik, karena belum sore kue buatan ibu sudah habis. Â Saya bisa langsung pulang dan belajar. Â Kebetulan besok ulangan. Â Iya janji, saya pasti sekolah supaya jadi orang hebat. Â Supaya nanti bisa nyenengin ibu saya." Â Katanya sambil memasukkan kueku ke dalam kantong plastik.
Di lain waktu, beberapa kesempatan aku melihatnya dikerubungi karyawan dan karyawati ketika di jam makan siang. Â Aku hentikan langkahku sejenak dan melihatnya sibuk melayani pembeli dengan ramahnya. Â Ku sempatkan memberikan semangat, "Laris manis yah."
Begitulah cerita pertemuanku dengan bocah lelaki penjual kue di sebuah mall dekat rumahku. Â Tidak hanya kali itu saja aku membeli kuenya. Â Tetapi juga di beberapa kesempatan. Â Sekaligus kami bercakap tentang sekolahnya. Â "Ibu...." Â Suaranya memanggilku jika dilihatnya aku lebih dulu.
Kami lalu bercakap tentang harinya di sekolah. Â Senang mendengar ceritanya tentang sekolah dengan penuh semangat. Â "Saya senang bisa membantu ibu saya. Â Saya senang bisa belajar banyak di sekolah. Â Ibu saya bilang, sekolah itu penting supaya tidak jadi orang susah seperti kami ini. Â Jika bodoh jadi susah, dan akhirnya miskin. Â Nggak boleh ngeluh bu, harus belajar dan bekerja, ibu bilang begitu." Â Katanya polos menutup pembicaraan kami. Â Lalu seperti biasa, aku menghabiskan daganganya yang hari itu tinggal 1 kotak kue pastel.
Aku terenyuh sebab kehidupan keras telah membentuk dan mengajarkan kepadanya pentingnya pendidikan dan arti bersyukur. Â Sementara di luar sana tidak sedikit anak-anak yang terlena karena dimanjakan kehidupan di zona nyaman.
Tulisan ini buat kamu nak. Â Sekaligus catatan pribadi untukku. Â Semoga Tuhan memberkati.
Jakarta, 7 Juni 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H