Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bocah Penjual Kue

7 Juni 2023   03:32 Diperbarui: 7 Juni 2023   03:49 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahhh...lama aku tak bercerita padamu diary.  Bukan tak ada, tapi karena tidak tahu darimana harus memulai.  Kepala ini terasa penuh.  Sementara hati terasa luluh tak berdaya.  Kenapa?  Entahlah, mungkin aku yang terlalu perasa, ataukah dunia yang semakin menggila karena berujung akhir.

Cerita bermula beberapa waktu lalu.  Saat kerap aku mendengar percakapan mbak-mbak di sebuah mall dekat rumahku.  "Ehhmm...tumben itu bocah tidak ada.  Padahal perut ini sudah mulai lapar.  Jangan-jangan sakit tuh anak."

Kepo, ingin aku bertanya siapa sih yang diceritakan mereka.  Bukan sekali dua kali percakapan ini aku dengar.  Yups.... maklumlah cukup sering aku datang ke mall ini mengirimkan paket untuk putriku yang berkuliah di luar kota.  Logikaku, pasti bocah yang dimaksud cukuplah akrab untuk mereka.

Hingga berjalannya waktu kemudian.  Siang itu ketika kembali aku berniat mengirimkan paket.  "Kuenya bu, enak-enak loh.  Ada yang asin, dan ada juga yang manis.  Dibeli bu, untuk teman minum teh.  Sekotak isi 3 harganya Rp 20,000.  Tapi kalau ambil 3 kotak cukup Rp 50,000 saja."  Katanya menjajakan dengan ramah sekali.

Terkesima aku, "Inikah anak yang sering diceritakan mbak-mbak beberapa waktu lalu?"  Tanyaku dalam hati.  "Bentar yah dek.  Aku mau kirim ini dulu.  Nanti aku kembali."  Kataku kepadanya, karena memang kotak paket yang kubawa lumayan berat.  Serta kebetulan aku menguber waktu agar paketku bisa terkirim di hari itu.

Singkat cerita, aku kembali tetapi anak itu entah di mana.  Mungkin dagangannya sudah habis, atau mungkin pergi menjajakan di tempat lain.

Berlalunya waktu akhirnya membawaku kembali bertemu bocah lelaki ini.  "Heii...kamu, kenapa waktu itu menghilang?  Aku tuh nyariin kamu loh setiap kali ke sini."  Kataku kemudian sambil menghampirinya. 

Senyumnya begitu polos.  Tidak hanya bibirnya, tetapi juga matanya sangatlah lugu.  "Heheh.....maaf, saya kira ibu bohong.  Saya kira ibu tidak kembali lagi.  Tadi saya kaget ketika ibu mengenali saya."  Katanya jujur sekali.

"Hahahah...enggaklah.  Tega banget kamu mengira saya pembohong."  Kataku balas bercanda agar dirinya tidak terpojok.  "Oiya, by the way kamu ini sekolah nggak sih.  Aku kepo boleh khan?"  Lanjutku kemudian.

"Sekolahlah ibu, kelas 4 SD.  Kalau tidak sekolah nggak bisa maju bu.  Kasihan nanti ibu saya di rumah siapa yang nyenengin.  Oiya, kue-kue enak ini buatan ibu saya loh.  Jadinya saya sekolah dulu, kemudian ambil kue buatan ibu untuk dijual.  Sebisanya sore saya harus segera pulang karena untuk membuat PR dan belajar, begitu kata ibu saya."  Ceritanya luwes dan dewasa sekali sambil merapikan dagangannya yang aku lihat tinggal beberapa kotak.

Aku tersenyum dan sekaligus ngilu.  Bagaimana tidak, karena diriku juga memiliki dua buah hati.  Hanya saja nasib mereka lebih baik dari bocah luarbiasa ini.  "Aku mau dong ini semua."  Kataku sambil mengambil, dan sekaligus menghabiskan 5 kotak kue yang tersisa dari tas jualannya.

"Nah ini buat kamu, kasih ibumu yah.  Janji kamu harus terus sekolah, dan jadi orang hebat."  Kataku sambil memberikan dua lembar uang kertas berwarna merah.

Tidak bisa aku lupakan wajah bahagianya ketika itu.  "Terima kasih banyak bu.  Hari baik, karena belum sore kue buatan ibu sudah habis.  Saya bisa langsung pulang dan belajar.  Kebetulan besok ulangan.  Iya janji, saya pasti sekolah supaya jadi orang hebat.  Supaya nanti bisa nyenengin ibu saya."  Katanya sambil memasukkan kueku ke dalam kantong plastik.

Di lain waktu, beberapa kesempatan aku melihatnya dikerubungi karyawan dan karyawati ketika di jam makan siang.  Aku hentikan langkahku sejenak dan melihatnya sibuk melayani pembeli dengan ramahnya.  Ku sempatkan memberikan semangat, "Laris manis yah."

Begitulah cerita pertemuanku dengan bocah lelaki penjual kue di sebuah mall dekat rumahku.  Tidak hanya kali itu saja aku membeli kuenya.  Tetapi juga di beberapa kesempatan.  Sekaligus kami bercakap tentang sekolahnya.  "Ibu...."  Suaranya memanggilku jika dilihatnya aku lebih dulu.

Kami lalu bercakap tentang harinya di sekolah.  Senang mendengar ceritanya tentang sekolah dengan penuh semangat.  "Saya senang bisa membantu ibu saya.  Saya senang bisa belajar banyak di sekolah.  Ibu saya bilang, sekolah itu penting supaya tidak jadi orang susah seperti kami ini.  Jika bodoh jadi susah, dan akhirnya miskin.  Nggak boleh ngeluh bu, harus belajar dan bekerja, ibu bilang begitu."  Katanya polos menutup pembicaraan kami.  Lalu seperti biasa, aku menghabiskan daganganya yang hari itu tinggal 1 kotak kue pastel.

Aku terenyuh sebab kehidupan keras telah membentuk dan mengajarkan kepadanya pentingnya pendidikan dan arti bersyukur.  Sementara di luar sana tidak sedikit anak-anak yang terlena karena dimanjakan kehidupan di zona nyaman.

Tulisan ini buat kamu nak.  Sekaligus catatan pribadi untukku.  Semoga Tuhan memberkati.

Jakarta, 7 Juni 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun