Tindakan brutal Mario Dandy Satrio (Mario) terhadap Cristalino David Ozora (David) mengingatkan saya pada satu kejadian memprihatinkan lainnya. Â
Tepatnya, beberapa bulan lalu secara kebetulan saya bersama dua orang teman sedang makan siang di salah satu mall di Jakarta. Â Sambil menikmati makan siang, kami melanjutkan hasil diskusi rapat yang sebelumnya kami hadiri. Â Tetiba, kami sangat terusik mendengar hardikan seorang perempuan separuh baya.
"Goblok, tolol kamu! Â Di taruh di mana botol minumnya tadi sama kamu? Â Saya tidak mau tahu, botol cucu saya harus dapat! Â Ngerti tidak kamu?" Â Suara menggelegar yang membuat kami bertiga berhenti makan dan saling bertatapan.
Ngerinya, suara tersebut berasal dari meja yang diisi oleh dua gadis kecil, sepertinya usia sekolah dasar. Â Kemudian perempuan muda nan cantik, mungkin ibu dari kedua gadis kecil karena parasnya mirip. Â Serta perempuan paruh baya yang murka parah, kemungkinan Oma dari kedua gadis mungil tersebut.Â
Secara penampilan, mereka terlihat sangat bersih dan berkelas. Â Sementara ada satu gadis sederhana sepantaran kedua cucunya dan terlihat ketakutan dengan kepala menunduk. Â Sangat besar kemungkinan bocah sederhana ini ART (Asisten Rumah Tangga) khusus untuk dua anak majikannya.
Saya harus mengatakan ngeri. Â Terpikir oleh saya, pelajaran apa yang diberikan keluarga ini kepada kedua gadis kecil mereka? Â Membentak ART di depan orang banyak hingga menginjak harga dirinya, apakah pantas dilakukan oleh keluarga yang seharusnya terpelajar ini? Â Apalagi jelas sekali wajah kedua gadis tersebut datar, acuh saja saat ART mereka dibentak. Â
Bersama ibunya, ketiganya seolah merasa dirinya berada di kasta tertinggi.  Cuek berat asyik dengan gadget.  Sama sekali tidak ada kepedulian, terganggu atau malu.  Padahal setelah kami cermati wajah si perempuan muda rupanya (maaf) istri seorang public figure.  Jujur, sangat menyedihkan reaksi mereka untuk sebuah botol minum yang hilang.
Terlepas siapapun mereka di tengah masyarakat. Â Kejadian di mall tersebut hanyalah satu dari sekian potret yang "dipastikan" juga terjadi di banyak keluarga. Â Sebab, berapa banyak keluarga Indonesia masih mendidik dan menanamkan moral dalam tumbuh kembang anak-anaknya? Â
Satu contoh sederhana saja, berapa banyak dari anak-anak zaman sekarang terbiasa mengucap terima kasih dan maaf? Â Belum lagi ketika kita bicara mengucapkan salam, berbagi, atau berempati.
Ehhmm...lalu apa korelasinya dengan moral? Â Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila:
Sehingga merujuk kejadian di mall tersebut, apakah bisa dikatakan keluarga tersebut telah menanamkan pendidikan moral yang baik? Â Sementara membentak dan mempermalukan ART dilakukan di depan dua gadis kecil yang seharusnya diajarkan baik dan buruk, salah dan benar sedari dini.Â
Bayangkan, jika sikap membentak penuh arogan dipertontonkan sehari-hari. Â Maka bukankah nilai ini akan dianggap benar nantinya? Â Tidak heran jika mereka pun akan tumbuh menjadi pribadi yang sombong dan minim empati. Â Ngeri, disadari atau tidak karakter seperti ini telah (sengaja) dibentuk seiring tumbuh kembangnya.
Maka tidaklah heran mendapati kasus Mario yang brutal menghajar David beberapa waktu lalu. Â Dilanjutkan protes netizen yang gerah dengan wajah cuek Mario. Â Sangat bisa jadi Mario terbiasa hidup dengan nilai yang menurutnya benar. Â
Segala fasilitas kemewahan sebagai anak pejabat membuatnya rasa menjabat. Â Padahal yang sesungguhnya pejabat adalah bapak, bukan anaknya! Â Sangat bisa jadi juga ketidakpekaan keluarga berujung petaka moral bagi si anak. Â Sehingga di dalam hal ini Mario salah mengartikan nilai moral yang dianutnya.
Mario bukan satu-satunya contoh. Â Sekarangpun masih sering menjumpai kendaraan plat merah digunakan untuk mengantarkan anak ke sekolah. Â Katakanlah si anak belum mengerti karena usianya masih TK misalnya. Â Masih terlalu belia, terlalu dini menurut pendapat orang tua. Â Tetapi justru sebagai orang tua harusnya bisa mendidik si anak sejak dini. Â Bahkan termasuk di dalamnya penggunaan fasilitas negara, tidak seharusnya digunakan untuk kepentingan keluarga.
Penting bagi orang tua pejabat menjelaskan kepada anak-anaknya, bahwa anak mereka tidak ada sangkut pautnya dengan jabatan orang tuanya. Â Artinya, orang tua seharusnya tidak mendidik anaknya menjadi manja dengan segala kemewahan dan kenyamanan karena pejabat, ataupun karena ekonomi yang mapan. Â Faktanya, yang mapan adalah orang tuanya, bukan anaknya!
Menurut hasil Jurnal Golden Age dikatakan perkembangan anak pada usia dini akan mempengaruhi perkembangan pada usia berikutnya. Husni Rahim and Maila Dinia Husni Rahiem (2012: 454) menjelaskan "Early childhood is a crucial stage in terms of a child's physical, intellectual, emotional and social development. Mental and physical abilities progress at an astounding rate and a very high proportion of learning takes place from birth to age six years old." Â Artinya, Usia dini adalah usia kritis pada perkembangan fisik, intelektual, dan sosial emosional.
Maka kondisi ini tidak hanya bicara anak pejabat. Â Tetapi setiap keluarga harus bertanggungjawab terhadap pendidikan moral anak. Â Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Orang tua adalah contoh, artinya orang tua harus menjadi teladan dalam bersikap dan bertutur kata. Â Jika orang tua terbiasa sombong, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang arogan. Â
Demikian juga jika orang tua terbiasa mengeluarkan berkata kasar dan kotor, maka anak meniru dan mengadaptasinya sebagai nilai dalam karakter dirinya. Â Namun sebaliknya, jika orang tua bersikap ramah, sederhana dan menjunjung pekerti. Â Maka anak mencontohnya di dalam kehidupannya. - Memulai kebiasaan sederhana, maksudnya biasakanlah untuk memiliki empati, mengucap terima kasih, mengatakan maaf dan mengucapkan minta tolong ketimbang "bossy" memerintah.
- Membangun sosialisasi dengan lingkungan, dengan tujuan agar anak mengenal orang lain. Â Keluar dari zona nyaman, dan melihat lebih banyak hal sehingga lebih luwes dalam bermasyarakat.
- Menasehati dan membangun komunikasi tanpa menggurui ataupun mendikte, sebab seiring zaman maka pendekatan terhadap anak pun berubah. Â Anak di zaman sekarang lebih menyukai diskusi, pendekatan secara teman, tidak memojokkan mereka. Â Tetapi menghargai pendapat mereka sekalipun posisi sebagai anak.
- Tanamkan disiplin dan tanggungjawab kepada anak, namun tetap menghargai keberadaan mereka. Â Hal ini bisa disepakati selagi komunikasi terjalin dengan bagus. Â Artinya, tidak dengan dijanjikan hadiah, dan diberikan kenyamanan fasilitas pun anak disiplin dan bertanggungjawab terhadap dirinya, dan masa depannya.
Serupa tapi tak sama kasus Mario dan ART yang dibentak. Â Benang merahnya adalah inilah cermin arogansi yang terjadi di beberapa keluarga Indonesia. Â Merasa lebih hebat, lebih kaya, lebih tinggi derajatnya, lebih berkuasa dan berbagai lebih yang dipakai untuk menginjak orang lain. Â Sebab selama ini, nilai inilah yang tertanam dalam tumbuh kembang mereka.
Ironis, padahal keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang berfungsi mendidik dan menanamkan nilai moral yang penting bagi anak untuk mereka hidup bermasyarakat. Â Tetapi ternyata justru gagal mengeksekusinya. Â Sehingga berujung kasus hukum pidana anak di bawah umur.
Siapakah dalam hal ini yang bertanggungjawab? Â Sejatinya orang tua memegang peran penting. Â Sebab anak adalah tanggungjawab orang tua! Â Berdalil apapun orang tua bertanggungjawab penuh terhadap tumbuh kembang moral seorang anak.
Sumber:
file:///C:/Users/HP/Downloads/479-1895-2-PB.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H