Sore itu Stasiun Gambir begitu ramai. Â Entah sudah berapa belas tahun aku yang kini sudah emak-emak ini tidak menginjakkan kaki di Gambir. Â Padahal dulu ketika masih gadis, pantang melihat tanggalan merah di kalendar maka langsung kaki ini lincah travelling. Â "Excuse me Sir, but could I take a leave on this date and this." Â Kataku kepada atasanku seorang expat, sambil melingkari tanggalan mejaku. Â No argue, dan seperti biasanya aku selalu diizinkannya.
Bersama beberapa teman, aku biasa menggunakan kereta api. Â Cukup hanya bermodal tas ransel dan sandal jepit dan cuss..... berangkat entah ke Kota Jogya, Surabaya dan bahkan ketengan ke Bali! Â Yup, separuh kereta dan separuh bis jadilah keseruan backpacker ala-ala kami.
"Ma, pesan karcisnya harus lewat aplikasi KAI. Â Jadi, kita mesti download dulu dari Playstore. Â Lalu pesan sekaligus pilih tempat duduk serta gerbongnya, kemudian bisa bayar di Alfa atau Indomaret. Â Lalu cetak karcisnya di mesin-mesin itu ma. Terkecuali untuk yang mau berangkat hari ini barulah boleh di loket. Â Itupun untuk minimal 3 jam sebelum keberangkatan." Â Jelas putriku mengangetkanku yang tenggelam dalam kenangan masa gadisku.Â
Uuppss...tersentak diriku. "Gokil, aku ke sini untuk membeli karcis kereta untuk kami, aku dan anak gadisku. Â Mengantarnya untuk kuliah di Kota Malang. Â Wow...cepatnya waktu berlalu." Batinku sambil tersenyum melihat gambaranku pada dirinya.
Maka jadilah kami memesan kereta lewat aplikasi, dan langsung di print di hari itu juga. Â Siapa lagi yang melakukan kalau bukan putriku. Â Keren banget sekarang serba digital! Â Selanjutnya, sisa waktu kami habiskan untuk mengelilingi Stasiun Gambir. Â Betapa semua sudah begitu sangat berubah. Â Rapi, bersih dan mirip mall kecil kataku kepada anak gadisku. Â Bla...bla...aku bercerita kepadanya tentang emaknya yang pecicilan ini di masa gadis.
Seminggu kemudian kira-kira pukul 17.00 WIB, kami berdua sudah kembali duduk manis di lantai 3 Stasiun Gambir. Â Yup, kami menunggu Kereta Gajayana menuju Stasiun Kota Baru Malang pada pukul 18.40 WIB nanti.
Terus terang saja, aku terkaget-kaget. Â Semua memang sudah sangat berubah, karena kereta yang dinanti tiba tepat waktu. Â Bahkan sore itu kami pun berangkat tepat waktu. Â Kondisi kereta begitu bersih dan rapi untuk kelas eksekutif dengan karcis seharga Rp. 650 ribu sekali jalan.
"Wow...ini sih keren kak, mirip di pesawat! Â Wow...lihat kak, tempat duduk bisa diatur, ada selimut, ada kantong plastik untuk muntah sepertinya, dan lihat kak, ada colokan listrik juga!" Â Kataku berisik rada norak sepertinya. Â "Tenang ma, please calm down," sahutnya sambil tergeli-geli.
"Permisi, maskernya bu, dan ini untuk mbaknya." Tetiba pramugari kereta api menghampiri. Â Heheh...sudah bisa ditebak, aku pun kembali ramai. Â "Keren yah kak, kita dapat masker dan dikemas dalam plastik rapi seperti ini, dan ada tisu basahnya pula."
"Ok mama." Jawabnya singkat sambil tersenyum.
Kereta pun bergerak untuk 13 jam perjalanan menuju Stasiun Kota Baru Malang. Â Kemudian, seperti halnya di pesawat ada suara Kapten yang bertanggungjawab dalam perjalanan memberikan penjelasan dan meminta kami untuk mengenakan masker selama perjalanan.
Sepanjang perjalanan, ingatanku kembali ke masa jadul. Â Dibandingkan dulu, kondisi kereta api sekarang jauh teramat nyaman. Â Bahkan AC nya saja bagiku kelewatan dingin! Â Sampai-sampai aku memakai jaket dan selimut sekaligus. Â Hahah...tetapi menurut putriku, mungkin karena mama sudah renta kali katanya menggoda.
Iseng, di perjalanan kami berdua mencoba seperti apa sih makanan di kereta. Â Sebab seingatku dulu, rasanya kurang mantap dan mahal. Â Maka jadilah kami memesan 2 paket ayam crispy dan 2 gelas teh gula batu. Â Hahah...tetapi rupanya khusus untuk ini masih sama! Â Masih mehong alias mahal, dan rasa makanannya maaf perlu perbaikan.
Selebihnya semua berjalan sangat baik. Â Tetapi 13 jam perjalanan dan dingin AC luarbiasa membuatku seperti cacing kepanasan. Â Maka, aku penasaran ingin tahu seperti apa sih toilet kereta sekarang. Â Ternyata....o...ternyata beda banget dengan toilet zaman dulu. Â Begitu bersih, lengkap dengan toilet paper! Â Padahal dulu, toilet di kereta api itu joroknya minta ampun!
Ehhmmm....toiletnya bersih kak, kataku setelah kembali duduk. Â Dulu kereta api itu hancur lebur banget kak. Â Di setiap stasiun yang kita berhenti, pasti deh nanti ada pengasong yang masuk. Â Sedangkan di kereta ini, semua terjaga. Â Bahkan kita tidak pakai masker saja ditegur." Â Kataku mengoceh membunuh rasa bosanku.
"Oiya...khan ada colokan listrik. Â Mama buka laptop dan menulis aja deh yah kak." Â Maka jadilah aku menulis di sepanjang perjalanan. Â Melewati stasiun demi stasiun, mulai dari yang kecil hingga yang besar. Â Terkadang melewati, dan terkadang berhenti hingga 10 menit karena ada penumpang yang turun dan naik.
Namun, asli aku tidak bisa tidur! Â Padahal sekitar pukul 22.00 WIB lampu di dalam kereta dimatikan. Â Setelah sebelumnya petugas kebersihan memastikan tidak ada sampah di tempat duduk setiap dari kami. Â Sebab tidak bisa tidur, maka aku kembali menulis. Â Ditemani suara ngorok penumpang yang saling bersahutan. Â Sementara putriku sudah sejak tadi terlelap tanpa terganggu samasekali.
Akhirnya, kurang lebih pukul 01.00 WIB dini hari kereta yang membawa kami berhenti di Stasiun Tugu, Kota Jogyakarta. Â Aku jadi kembali mengingat masa dulu. Â Seingatku dulu setiap ada kereta api yang berhenti selalu terdengar Lagu Selendang Sutra. Â Tetapi rupanya kini sudah tidak ada lagi. Â Meski semuanya masih sama seperti dulu.
Malam benar-benar terasa panjang untukku. Â Heran saja melihat penumpang lain bisa nyenyak tertidur. Â Sedangkan aku menyibukkan diri menulis sambil memandangi lampu-lampu di setiap kota kecil yang dilewati.Â
Singkat cerita pagi pun tiba, dan sekitar pukul 05.00 WIB. Â Kembali pragmugari datang untuk mengambil selimut kami. Â Serta memastikan tidak ada sampah yang berserakan. Â Lalu, sekitar pukul 07.02 WIB kami pun tiba di Kota Malang dengan selamat dan tepat waktu.
Luarbiasa kataku dalam hati. Â Begitu banyak yang berubah pada kereta api. Â Sekarang jauh lebih nyaman, bersih, dan aman. Â Tetapi mungkin untuk perbaikan, kualitas makanannya dan harganya tolong dibuat lebih enak dan lebih ramah di kantong.
Itulah sepenggal ceritaku berkeretaapi bersama putriku. Â Kali ini tidak untuk jalan-jalan, melainkan untuk mengantar anak gadisku menuntun ilmu di Kota Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H