Anak berkebutuhan khusus (ABK) berbeda dengan anak disablitas. Â Sebab, anak disablitas merujuk kepada kondisi anak yang mengalami keterbatasan dalam aktivitas kesehariannya. Â Sedangkan ABK merujuk kepada anak yang memiliki keterbatasan fisik, intelektual, emosi dan sosial. Â Namun, sayangnya sedikit dari kita yang menyadari dan bahkan menerimanya, Â terkhusus kondisi anak ABK.
Teringat pengalaman cukup lama saat buah hatiku masih di usia play group. Â Ketika mendapati Dito, teman anakku si bungsu terlihat berbeda. Â Pandangan matanya tidak fokus, terlihat sibuk dengan dunianya sendiri, tidak bisa berinteraksi dengan baik, dan tuturnya tidak terbentuk kata. Â Dito bukan satu-satunya anak "spesial" yang kutemui. Â Terdapat anak lainnya, yaitu Chris yang juga kurang lebihnya sama.Â
Kebetulan, aku memiliki pengalaman pernah membawa putri sulungku terapi karena terlambat bicara di usianya 3.5 tahun. Â Sebagai ibu, pastinya aku khawatir dan segera membawanya untuk konsultasi kepada ahli tumbuh kembang anak.
Bermula dari sanalah aku mengenal ABK, dan jatuh hati pada dunia anak. Â Bagaimana tidak terenyuh, karena menurutku setidaknya anak-anak tersebut didampingi oleh ibunya, dan bukan oleh pengasuhnya. Â Tetapi bisa dihitung dengan jari, berapa banyak anak yang datang terapi didampingi ibunya.
Berbagi cerita bahkan putriku saja ketika itu dengan terbata menanyakan, "Mama, ku asalah?" Â Kalimat yang aku artikan dirinya bertanya-tanya adakah yang salah dengan dirinya. Â Tetapi jawabanku, bukan dirinya yang bermasalah. Â "Tidak kak, mama yang bermasalah. Â Mama perlu bertanya dan belajar disini cara membesarkan kakak, " demikian jawabku menatap mata polosnya dan disambut dengan senyum mengangguk.
Hasil konsultasi dan terapi dengan ahli tumbuh kembang, tidak ada yang salah dengan putriku ketika itu. Â Mungkin, kelalaian adalah diriku yang tanpa disadari dikarenakan jarak kelahiran adeknya dekat dengan dirinya sehingga aku terlupa untuk mengajak kakak sering berkomunikasi. Â Tidak butuh lama aku dan putriku saling bekerjasama agar kami bisa mengatasi kondisi ini. Â
Salah satunya dengan memasukkannya ke kelas balet sehingga dirinya bersosialisasi. Â Kemudian memberikan buku-buku dan melakukan aktivitas membaca dan mewarnai bersama. Â Bahkan kami melakukan bertiga dengan adeknya. Â Oiya, satu hal lagi selalu dengan sepenuh hati aku mengatakan kepadanya, "Ajari mama cara membesarkan kakak yah."
Singkat cerita dirinya tumbuh menjadi gadis remajaku yang luarbiasa. Â Tidak hanya memiliki segudang teman, ceria dan juga super bawel. Â Jika kita bertanya satu, maka akan dijawabnya satu buku! Â Hahah.... Sederet prestasi pun diraihnya, dimulai dari dipercaya mengikuti lomba melukis Japan Foundation, menulis di Kementerian Kesehatan, terpilih mengisi acara kolintang di Asian Games 2018. Â
Memenangkan lomba puisi tingkat nasional dan Asia Tenggara, dan menjadi penulis lepas di salah satu media. Â Terakhir, dengan bangga aku mengatakan putriku diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri favorit.
Pengalaman inilah yang membawaku secara tidak langsung tertarik dan mencintai dunia anak. Â Termasuk kesedihanku ketika mendapati yang terjadi pada Dito dan Chris, teman anak bungsuku. Â Bahkan anak-anak lain yang aku temui seiring waktu. Â Aku tidak ingin hal buruk terjadi selagi ada yang bisa aku lakukan. Â Demikian pelajaran berharga yang aku peroleh.
Adapun konsep ABK terbagi menjadi dua, yaitu:
- ABK bersifat sementara, Â yaitu disebabkan oleh faktor eksternal sehingga mengalami hambatan belajar. Â Sebagai contohnya, pengalaman traumatis karena kekerasan fisik. Â Adapun kondisi ini jika tidak ditangani dengan baik dapat berujung ABK yang bersifat permanen.
- ABK bersifat permanen, yaitu kondisi anak yang mengalami hambatan karena faktor internal ataupun akibat langsung dari kecacatan. Â Sebagai contohnya, kehilangan pendengaran, pengelihatan, gangguan kecerdasan, gangguan interaksi sosial ataupun gangguan emosi.
Sedangkan secara umum, jenis ABK sebagai contohnya sbb:
- Tunanetra, anak yang tidak bisa melihat/ kebutaan.
- Tunarungu, anak yang tidak bisa mendengar sehingga kemudian kehilangan kemampuannya berbicara
- Tunadaksa, anak yang mengalami kelainan pada fungsi geraknya
- Anak berbakat, anak yang memiliki kecerdasan luarbiasa
- Tunagrahita, anak yang mengalami keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial.
- Lamban belajar atau slow learner, yaitu anak yang kemampuan belajarnya di bawah normal, tetapi bukan tunagrahita.
- Tunalaras, yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya.
- ADHD/GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas), yaitu gangguan yang muncul pada anak dan dapat berlanjut hingga dewasa dengan gejala meliputi gangguan pemusatan perhatian dan kesulitan untuk fokus, kesulitan mengontrol perilaku, dan hiperaktif (overaktif). Â Gejala terlihat sebelum anak di usia 7 tahun.
- Autisme, yaitu gangguan perkembangan yang kompleks, meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun.
Kembali kepada Dito dan Chris teman si bungsu.  Susah payah aku menjelaskan kepada orang tuanya untuk membawanya terapi.  Faktanya (menurutku) keduanya butuh bantuan dari ahlinya, karena kita tidak  tahu cara mendidik buah hati kita.
Seorang diantaranya menerima masukanku walau untuk itu aku harus berdebat. Â "Emangnya elo mau bertanggungjawab kalau gua terpaksa berhenti kerja karena mengurus terapi?" Â Begitu serang temanku dengan nada tinggi saat itu. Â Lucu, padahal yang aku lakukan adalah untuk kebaikan anaknya, bukan untukku sama sekali.
Lain lagi dengan temanku yang satunya. Â Ngotot mengatakan tidak ada masalah dengan Chris, hanya persoalan anaknya pemalas dan manja. Â Padahal sekali lagi menurutku anaknya ini berada di tempat dan cara penanganan yang salah, dan butuh bantuan. Â Ironisnya, karena kekerasan hati orang tuanya, dan keluarga besar merasa malu, si anak hingga berkali-kali pindah sekolah disebabkan kerap tinggal kelas.
Menyedihkan, karena tidak seharusnya sebagai orang tua kita keras kepala dan mengingkari kenyataan bahwa anak kita butuh bantuan dan kita sebagai orang tua tidak mampu. Â Tetapi yang terjadi, banyak yang memilih berkesimpulan tidak ada masalah dengan anak saya. Â
Anak saya hanya nakal dan malas belajar. Â Namanya pun anak-anak, pastilah berulah, nanti juga berubah seiring usia. Â Bla...bla...bla...pembenaran lainnya yang dipaksakan hanya karena diantara ego dan ketidakpekaan kita. Â Sementara waktu terus berjalan dan si anak semakin terpuruk.
Mengingkari bisa jadi dikarenakan tidak mau repot, atau seperti temanku yang awalnya tidak mau kehilangan pekerjaan jika harus menyediakan waktu untuk terapi anaknya. Â Tetapi bisa juga dikarenakan malu, karena kondisi ini dianggap aib yang mencoreng nama besar keluarga. Â Konyol, lalu bagaimana dengan masa depan anak? Â Apakah setimpal harga yang harus dibayar?
Padahal percayalah bahwa ABK seperti autism yang diderita anak temanku ternyata menyimpan talenta musik luarbiasa. Â Puji Tuhan Dito tumbuh menjadi remaja seperti layaknya anak lainnya dengan kemampuan musikalitasnya. Â
Demikian juga pendidikannya bisa terus berjalan di sekolah umum tanpa masalah apapun. Â Kebesaran hati ibunya, yaitu temanku yang terus berkomunikasi dengan pihak sekolah dan menyampaikan jujur kondisi putranya.Â
Tetapi tidak demikian yang terjadi dengan Chris yang akhirnya putus sekolah. Â Setelah lebih dari 3 kali pindah sekolah, dan terakhir memilih home schooling namun tetap tidak membuahkah hasil. Â Langkah terakhir yang aku dengar, kedua orang tua Chris mempersiapkan usaha untuk nantinya dijalankan Chris setelah dewasa. Â
Meski bagiku ini masih tanda tanya besar jika tanpa pendampingan dari ahlinya dan terpenting penerimaan kedua orang tua dan keluarga.
Sebagai seorang ibu dari 2 anak, aku hanya ingin memberikan pendapat bahwa kita bertanggungjawab penuh terhadap masa depan anak kita. Â Anak tidak pernah minta dilahirkan, sehingga adalah kesalahan yang fatal jika kita ego dan menutup mata terhadap keganjilan yang ada di depan mata.Â
Tidak ada salahnya, dan bukan aib jika karena ketidaktahuan kita mendatangi ahli tumbuh kembang anak ketika anak kita terlihat berbeda dari anak seusianya. Â Tetapi ini hanya dapat terpenuhi jika kita mengenali anak kita, sehingga kita memahami kebutuhannya. Â Percayalah, setiap anak dilahirkan dengan rencana yang indah dariNya.
Jakarta, 25 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H