Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudahkah Kita Cakap Bermedia di Ruang Digital?

11 Juni 2022   03:25 Diperbarui: 11 Juni 2022   03:34 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kominfo adalah garda terdepan dalam percepatan era transformasi digital tanah air.  Namun, tanpa disadari kemajuan teknologi telah menggeser masyarakat dalam berprilaku.  Di mana kini era digital fokus pada data dan informasi dalam proses interaksi.  Apakah ini hambatan, maka jawabannya tidak.  Justru disinilah masyarakat Indonesia dituntut bertanggungjawab untuk menghadirkan ruang digital yang sehat.

Benar negeri ini menjunjung kebebasan berpendapat atau demokrasi.  Artinya siapapun boleh bersuara.  Namun, tentu sebagai negara yang berlandasan hukum, maka kebebasan berpendapat pun siap dengan konsekuensi hukum.  Demikian juga dengan berpendapat di ruang digital yang bukan tanpa sanksi.

Namun sayangnya kesadaran masyarakat Indonesia akan etika di dunia digital masih rendah.  Sebagai contohnya saja, minimnya kedewasaan menyadari bahwa di balik sebuah akun yang mengunggah atau mengomentari suatu kebencian ada manusia yang bisa saja tersinggung dan tersakiti dengan ujaran kebencian.

Di era digital membuat adanya kecendrungan orang Indonesia lebih berani di media sosial dibanding di dunia nyata.  Bisa saja ini dikarenakan karakter orang Indonesia sungkan dalam menyampaikan jika ada perbedaan pendapat maupun ketidaksukaan di dunia nyata.  Ujungnya keberadaan ruang digital dijadikan pelampiasan.  Bersamaan dengan masifnya ruang digital untuk kebohongan, ataupun menyebarkan hoaks.

Padahal interaksi digital tidak berbeda dengan dunia nyata.  Tetap harus memiliki kesadaran, sehingga membedakan kapan harus menyampaikan komentar, tahu hal yang boleh dan tidak boleh, serta paham bahwa di ruang digital juga diisi orang lain dari berbagai macam latar belakang budaya sehingga etika menjadi kontrol dalam bersikap dan bertanggungjawab dengan yang disampaikannya. 

Kita ketahui sarana interaksi yang kerap digunakan di ruang digital antara lain, Youtube, Instagram, Facebook, Line, Tiktok dan tentunya Whatsapp.  Katakanlah WA terhitung mudah untuk digunakan.  Terlebih keberadaan fitur status yang memiliki keasyikannya tersendiri.  

Tidak hanya kini dapat digunakan untuk jualan online misalnya.  Kita bahkan bisa membagi keseharian, link konten, dan membohongi publik, hingga menyebarkan hoaks ataupun ujaran kebencian.

Ooo...mungkin ada pendapat, " Lalu masalahnya dimana?  Ini negara demokrasi, dan siapapun boleh menaruh di status WA.  Bahkan siapapun boleh membagikan berita di group WA miliknya.  Boleh membuat konten, dan menulis apapun di Facebook."

Ehhhmm...ada baiknya paling tidak kita menyadari dulu dengan apa yang disebut tanggungjawab moral.  Ketika kita menaruh status di WA ataupun membagikan berita/ berkomentar di group WA maka kita tidak sedang berinteraksi dengan diri sendiri.  

Melainkan ada orang lain yang juga ikut melihat ataupun membaca.  Artinya, secara tidak langsung kita dituntut bertanggungjawab untuk efek yang ditimbulkannya.  Inilah yang disebut sebagai cakap bermedia, karena keberadaan kita di media sosial adalah sebagai warganet.  Ada orang lain selain kita. 

Sebagai contoh sederhana, komentar nyeleneh pada status WA yang mendiskreditkan pihak tertentu.  Terlihat biasa, karena klaim demokrasi.  Tetapi ingat, negeri ini juga negara hukum.  Jika ternyata ada pihak yang merasa dirugikan maka akan berujung dipidanakan, karena menyangkut pencemaran nama baik.  

Konon lagi jika tidak bertanggungjawab membagi berita.  Ngeri, bisa jadi tanpa disadari kita justru menjadi mata rantai membangun kebencian.

Singkatnya, dibutuhkan kecakapan berinteraksi di ruang digital.   Maksudnya cakap dalam memverifikasi informasi sebelum dibagikan, dengan cek fakta, serta mempertimbangkan urgensi dan manfaatnya.   Sehingga tidak menyesatkan membohongi publik, atau pun memicu permusuhan.

Sejujurnya berinteraksi di ruang digital jauh lebih sulit ketimbang dunia nyata, karena tidak tidak ada interaksi fisik.  Mirisnya, masih saja ada pendapat boleh melakukan apa saja di dunia maya..  Lalu mengakhiri dengan kata "maaf" untuk lepas darii jerat hukum.

Pendapat yang sangat salah, karena negara kita memiliki UU ITE.  Artinya, kebebasan berpendapat di media sosial, aplikasi chatting dan sebagainya dibatasi dengan UU ITE.  Sehingga masyarakat harus menyadari bahwa postingan-postingan yang sifatnya menyinggung orang lain, mencemarkan nama baik, bisa melanggar Undang-undang dan dijerat hukum.

Bukan mulutmu harimaumu.  Tetapi di dunia maya, berhati-hatilah dengan jarimu!  Sehingga apa yang pernah disampaikan oleh Menkominfo Johnny Plate, "bersama kita mengambil bagian untuk menghadirkan ruang digital yang sehat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun