Sebagai contoh sederhana, komentar nyeleneh pada status WA yang mendiskreditkan pihak tertentu. Â Terlihat biasa, karena klaim demokrasi. Â Tetapi ingat, negeri ini juga negara hukum. Â Jika ternyata ada pihak yang merasa dirugikan maka akan berujung dipidanakan, karena menyangkut pencemaran nama baik. Â
Konon lagi jika tidak bertanggungjawab membagi berita. Â Ngeri, bisa jadi tanpa disadari kita justru menjadi mata rantai membangun kebencian.
Singkatnya, dibutuhkan kecakapan berinteraksi di ruang digital. Â Maksudnya cakap dalam memverifikasi informasi sebelum dibagikan, dengan cek fakta, serta mempertimbangkan urgensi dan manfaatnya. Â Sehingga tidak menyesatkan membohongi publik, atau pun memicu permusuhan.
Sejujurnya berinteraksi di ruang digital jauh lebih sulit ketimbang dunia nyata, karena tidak tidak ada interaksi fisik. Â Mirisnya, masih saja ada pendapat boleh melakukan apa saja di dunia maya.. Â Lalu mengakhiri dengan kata "maaf" untuk lepas darii jerat hukum.
Pendapat yang sangat salah, karena negara kita memiliki UU ITE. Â Artinya, kebebasan berpendapat di media sosial, aplikasi chatting dan sebagainya dibatasi dengan UU ITE. Â Sehingga masyarakat harus menyadari bahwa postingan-postingan yang sifatnya menyinggung orang lain, mencemarkan nama baik, bisa melanggar Undang-undang dan dijerat hukum.
Bukan mulutmu harimaumu. Â Tetapi di dunia maya, berhati-hatilah dengan jarimu! Â Sehingga apa yang pernah disampaikan oleh Menkominfo Johnny Plate, "bersama kita mengambil bagian untuk menghadirkan ruang digital yang sehat."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H