"Mantap Na, gila kapan lagi lu bisa berduaan dengan Bang Piko. Â Jujur, faktanya selama ini cuma elu satu-satunya cewek di pencinta alam yang dapat perhatian dia. Â Umur mah tidak masalah, biarpun elu masih SMA, dan doski mahasiswa rangkap kakak pembina. Â Faktanya selama ini elu doang khan yang diberikan perhatian spesial. Â Elu doang juga yang selama ini diantar dan jemput dengan vespa tuanya. Â Jangan lupa juga, cuma elu Nana yang disebut dengan panggilan dek Nana." Â Suara malaikat memberikan dukungan kepada Nana.
Jangan ditanya berkesannya malam itu bagi Nana. Â Memilih diam, Nana menikmati malam bertabur bintang di perkemahan berduaan dengan Bang Piko.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya. Â Tetapi mulut Nana terkunci. Â Malu dan tidak pantas rasanya berpikir Bang Piko menaruh hati padanya. Â Tidak mungkinlah, aku ini hanya anak bawang, SMA kelas XI. Â Sementara Bang Piko, kakak pembina, mahasiswa, dan juga seorang guru. Â Jauh...dan teramat jauh.... jurang diantara keduanya.
"Dek, coba lihat bintang di atas sana. Â Cita-citamu yang mana dek? Â Jadilah satu diantaranya, karena mereka sama indahnya. Memberikan terang, mewarnai langit malam. Â Besok-besok, ingat itu yah dek. Â Jadilah terang seperti bintang." Suara itu seperti cinta ketika matanya pun menatap tajam mataku.
Jujur aku menangkap cinta, tetapi takut salah. Â Aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Â Tetapi, malam di bawah langit bertabur bintang adalah kenangan perkemahan terindah Nana.
Sekalipun malam itu berlalu tanpa kata cinta. Â Tahun pun berlalu tanpa sebuah kata diantara keduanya. Â Namun setia Bang Piko menyempatkan dirinya menjemput dan mengantar Nana pulang sekolah. Â Terkadang diundangnya Nana bersama Tika sohibnya main ke kost miliknya, dan membantu keduanya menyelesaikan beberapa tugas sekolahnya.
Sesekali pula diajaknya Nana ke SD tempatnya mengajar. Â Memperkenalkan kepada bocah kecil di sana. Â "Anak-anak, ini Kakak Nana teman bapak."
"Gokillll...pikirku, bagaimana mungkin gua jatuh cinta pada pak guru? Â Iya sih, doski kakak pencinta alam gua, dan mahasiswa. Â Tetapi jangan lupa, dia guru dan dipanggil bapak di SD tempatnya mengajar." Â Tepok jidat Nana berusaha menyadarkan dirinya.
"Secara gua ini 17 tahun saja belum. Â Gua juga masih suka keluyuran jelong-jelong ke mall. Â Tetapi bagaimana dong, setiap ketemu Bang Piko, jantung gua mendadak copot."
Tanpa cinta yang hanya sebuah kata. Â Nana menikmati setiap kebersamaannya dengan Bang Piko. Â Laki-laki yang menjadi alasannya untuk mengejar bintang walau setinggi langit sekalipun. Â Tetapi semua ada waktunya untuk sebuah kejujuran dan penerimaan.
Sambil menggunting contoh prakarya anak murid Bang Piko di kost miliknya, tetiba pengakuan itu datang.