Istilah kantin kejujuran mungkin tidak asing bagi sebagian dari kita. Â Aku kebetulan mengenalnya di toko sekolah anakku ketika mereka masih di bangku SMP. Â Dagangan yang dijual tidak mewah, hanya sekitar Rp. 2000 dan diletakkan dekat mesin pendingin minuman.
Tanpa penjaga, siapa saja yang berminat silahkan mengambil, dan meletakkan pembayaran dalam kotak tersedia. Â Sesederhana itu, namun yang mewah disini adalah nilai kejujurannya. Â Nilai yang tidak bisa dibeli dan tidak ternilai harganya dalam kemasan sekantong kacang goreng.
Sekilas saja, jika dipikir kurang bagaimana kita mengenal dan mendengar kejujuran. Â Kita bahkan tumbuh dengan nilai ini. Â Persisnya, sedari kecil kita terdidik oleh orang tua untuk jujur. Â Apalagi, kalau kita bicara dari sudut pandang agama. Â Apapun keyakinan kita, semua agama mengajarkan nilai kejujuran. Â Sehingga harusnya kita sangat kenyang dengan nilai-nilai ini.
Sayangnya tidak demikian dalam praktek di kehidupan nyata. Â Berbagai bentuk penyelewengan kejujuran terjadi, dan salah satunya korupsi. Â Berasal dari Bahasa Latin, corruption. Â Korupsi berarti memperkaya diri sendiri atau mengutamakan kepentingan pribadi.
Menurut UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubahkan dalam UU No. 20 tahun 2001. Â Dirumuskan tiga puluh tindak pidana korupsi yang disederhanakan dalam 7 kelompok besar, yaitu:
- Kerugian keuangan negara
- Suap menyuap
- Penggelapan jabatan
- Pemerasan
- Perbuatan curang
- Kepentingan dalam pengadaan
- Gratifikasi
Tetapi menurutku, kejujuran bukan teori yang cukup diajarkan ibarat ritual. Â Tetapi kejujuran adalah praktek keteladan yang diwariskan, menjadi contoh kepada generasi berikutnya.
Kenapa aku mengatakan demikian, karena memang demikianlah yang dilihat oleh generasi saat ini. Â Anak-anak terdidik dengan nilai kejujuran tetapi dikecewakan lewat prilaku orang-orang dewasa, atau "orang besar" yang dengan seenaknya menghabiskan uang rakyat misalnya.
Jamak jika beberapa anak sekolah zaman now tidak peduli arti kejujuran, dan melakukan praktek suap demi menyelesaikan ulangan, ataupun tugas sekolah. Â Naifnya, sesumbar kita mengatakan ini tidak jujur?
Kita lupa atau mencoba buta, bahwa seiring zaman, generasi pun semakin kritis. Â Mereka tidak buta dan tuli, melainkan mendengar serta melihat pembiaran prilaku korupsi di keseharian dan menyedihkannya dianggap normal.
Sehingga jangan bandingankan satu dua soal contekan seharga Rp 5000 dengan anggaran miliaran yang raib tanpa proses hukum, dan cengar cengir para koruptor ketika tertangkap KPK. Â Itupun masih tanda tanya besar kelanjutan proses hukumnya.Â