Kocaknya, hanya segelintir orang yang terlihat peduli bersedia mengangkat kursi roda mama. Â Heheh... ooo.... Betapa ngerinya mereka yang merasa dirnya normal. Â Tetapi nyatanya lupa memiliki hati. Â Meskipun memang pada akhirnya kami putuskan mendorong mama, dan kami tertawa tal habis pikir.
Mamaku hanyalah satu dari cerita yang menjadi keseharian jatuh dan bangunnya kami ketika mengajaknya beraktivitas di luar. Â Tetapi, ada cerita memilukan lainnya, dimana aku kerap melihat suami istri tunanetra bergandengan tangan menyusuri trotoar sambil membawa dagangan kerupuknya.
Sehingga menurutku, disabilitas berpulang bagaimana kita menerima dan memberikan kesempatan kepada "mereka" untuk beraktivitas. Â Kenapa demikian, karena faktanya di negeri ini kaum disabilitas masih dianggap beban. Â Sedikit sekali orang dan bahkan pemerintah memberikan perhatian kepada mereka. Â Padahal, mereka juga warga negara di republik ini.Â
Berbeda dengan negara, semisalnya Australia tempat aku pernah belajar. Â Di sana mereka yang menggunakan kursi roda saja, tetap bisa berkarya dan beraktivitas di pusat kota, pertokoan dan bekerja di kantor seperti mereka dengan label normal.
Butuh waktu panjang negeri ini menerima saudara disabilitas sebagai kita, dan bukan sebagai beban. Â Bercermin nyata dari sepasang suami istri tunatera penjual krupuk yang pernah kutemui. Â Nyatanya mereka mampu berjuang dalam gelap, disaat kita berlabel normal buta mata hatinya.
Jakarta, 7 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H