Sedari dulu aku menyakini, hidup adalah pilihan. Â Seperti ketika akhirnya memilih untuk berumahtangga. Â Pilihan sadar, akan ada tanggungjawab yang mengikuti. Â Sebab, kita tahu layaknya rumahtangga maka kehadiran anak menjadi pelengkap kata orang. Â Aku pribadi sempat bertanya-tanya, "Mampukah aku menjadi mama yang baik?"
Menurutku, anak yang lahir dari sebuah pernikahan berhak untuk mendapatkan cinta, dan kehidupan yang layak. Â Mereka bukan ornament dalam sebuah rumah tangga, yang cukup diberi makan, pendidikan dan dipenuhi secara materi. Â Ada yang lebih berarti, mereka berhak mendapatkan cinta. Â Sebab, mereka tidak pernah minta untuk dilahirkan.
Tetapi, seiring zaman hak anak ini menjadi langka. Â Banyak ditemui pasangan yang sibuk dengan dunianya sendiri. Â Sementara buah hati mereka diperlakukan ibarat robot yang menjalani hari tanpa rasa, karena tidak ada cinta disana. Â Ujungnya anak-anak ini pun tumbuh menjadi pribadi yang mati rasa. Â Menyedihkan, karena di masa tumbuh kembangnya, mereka kehilangan sosok orang tua. Â Sosok ini tergantikan oleh Asisten Rumah Tangga (ART) yang dibayar untuk membesarkan mereka.
Jujur jika kita bicara dari sudut agama, tidak ada titik temu. Â Tuhan menghendaki kita meneruskan keturunan. Â Sebab anak adalah buah cinta dan amanah yang harus dibesarkan dan dididik penuh tanggungjawab. Â Tetapi faktanya sangatlah berbeda.
Kita tidak sedang membicarakan kondisi ekonomi. Â Karena cinta dan kasih tidak memandang status sosial dan kondisi ekonomi setiap keluarga. Â Ini buktinya, cerita nyata yang aku alami sore tadi.
Kebetulan aku harus bepergian sore tadi untuk memperbaiki laptop yang ngambek. Â Aku memilih naik taxi menuju sebuah mall tempat service langganan. Â Di perjalanan si bapak menawarkan sanitizer, katanya sih untuk tambahan.
Singkat cerita si bapak curhat tentang dua anaknya yang terpaksa dimasukan pesantren sebagai pilihan terbaik. Â Usia mereka kelas 4 dan 5 Sekolah Dasar, dan sudah enam bulan tidak bertemu. Â Pertanyaanku tanpa sengaja, "Maaf, kalau boleh tahu, dimana istri bapak?"
"Istri saya meninggal karena kanker 1 tahun lalu. Â Saya bingung bagaimana membesarkan anak sementara pandemi membuat ekonomi makin sulit, dan mereka masih sangat kecil. Â Saya sudah coba titipkan ke saudara. Â Tapi saya tidak tenang karena anak-anak menjadi murung dan terus menangis. Â Sementara saya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka." Â Mengalir curhat si bapak dengan suara getir.
Aku membiarkannya bercerita. Â "Akhirnya saya memilih menjual rumah untuk bertahan hidup, dan biaya memasukkan keduanya ke pesantren. Â Saya yakin di pesantren mereka bisa dibesarkan jauh lebih baik. Â Karena, tidak mungkin saya membawa keduanya tinggal bersama di mess taxi." Â Lanjutnya dan kemudian diam sesaat.
"Mungkin anak-anak saya akan berpikir bapaknya membuang mereka. Â Padahal tidak, karena setiap malam kami selalu bertelepon lewat telepon Kyai Pesantren. Â Saya lakukan ini karena sayang dan tanggungjawab sebagai bapak. Â Tuhan tahu saya mengumpulkan rupiah untuk membiayai mereka. Â Supaya mendapatkan hidup dan pendidikan lebih layak. Â Tetapi setiap kali kami bertelepon, keduanya selalu nangis kangen. Â Padahal saya ingin mereka Bahagia disana." Â Sambungnya dengan nada semakin getir.
"Apakah saya bapak yang jahat bu?" Tanyanya mendadak kepadaku.
Sehingga kembali kepada pilihan atau trend childrfree, mungkin ada baiknya tidak menghadirkan anak jika tidak sanggup bertanggungjawab memberikan hak mereka. Â Jangan pernah menganggap anak sebagai beban, karena mereka bukan beban. Â Mereka adalah cinta yang dihadirkan di tengah pernikahan.
Lihat saja bapak pengemudi taxi yang rela melakukan apa saja demi tanggungjawabnya atas dasar cinta. Â Di keterbatasan dalam segalanya, tidak membuatnya berhenti mencintai kedua buah hatinya. Â Bandingkan dengan pernikahan yang justru terbeban dan terbelenggu oleh kehadiran anak. Â Bagi mereka anak adalah goal. Â Sebab sudah menikah dan punya anak, berarti normal?
Kesimpulannya menurutku, bukan boleh tidaknya atau pantas tidaknya child free sebagai keputusan di pernikahan. Â Tetapi terpenting tanggungjawab memenuhi hak anak. Â Jika memang tidak sanggup, itu jauh lebih baik daripada melukai hati keturunannya nanti.
Aku menghormati keputusan mereka yang memilih child free tetapi bisa menyalurkan cinta kasihnya kepada anak-anak yang kurang beruntung. Sebagai contohnya bapak taxi yang kutemui sore tadi.
Jika saja kita bisa memberkati mereka dari sedikit rejeki yang Tuhan titipkan maka menurutku anak dalam hal ini tidak selalu harus yang lahir dari sebuah pernikahan. Â Sebab ada banyak anak yang membutuhkan cinta dan mengejar masa depannya. Â Alangkah indahnya jika mereka yang memutuskan pilihan child free bisa menjadi saluran berkat untuk anak-anak ini.
Tidak terasa aku pun sampai di loby mall. Â "Bapak tidak salah, dan anak bapak tidak membenci. Â Saya titip untuk anak-anak," Kataku membayarkan ongkos taxi, dan sekilas matanya berkaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H