Atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat sering menjadi kebablasan. Â Sehingga mengabaikan etika, dan cenderung menjatuhkan ketimbang untuk kebaikan. Padahal, bukankah jauh lebih baik berpendapat atau mungkin kritik tersebut konstruktif, memberikan solusi, dan bukan mencaci maki, menghina ataupun menjatuhkan.
Dilematisnya ketika kritik disampaikan dalam bentuk seni, misalnya mural. Â Kata mural sendiri berasal dari bahasa latin yaitu dari kata "Murus" yang berarti dinding. Singkatnya, pengertian mural adalah menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau media luas lainnya yang bersifat permanen. Â Inilah yang kita temui, misalnya ketika Indonesia menyambut Asian Games 2018 lalu. Â Sudut kota Jakarta berhias beragam cabang olah raga dengan warna cantiknya.
Namun, di negeri ini beda ceritanya ketika ada mural "menyerupai" tokoh ataupun kepala negara yang biasanya digunakan sebagai alat kritik sosial. Â Inilah yang terjadi pada mural mirip Presiden Joko Widodo yang bertuliskan 404: Not Found. Â Terjadilah tarik ulur salah dan benar yang jujurnya menambahkan kebingungan. Bingung karena di satu sisi, ini adalah seni dan disisi lain ini moral. Â Menyangkut prilaku dan etika, dan jika dibiarkan akan kebabalasan mengartikan kebebasan berpendapat.
Kita tahu di dalam berkesenian tidak bisa dibatasi. Â Sehingga tidak heran akan timbul multitafsir nantinya. Â Ini juga mengingatkan kita pada contoh seni lainnya ketika musisi Iwan Fals lagu-lagunya pernah diasumsikan menyindir pemerintah Orde Baru.
Sehingga menurutku, jika melihatnya dari kacamata seni maka sulit mengatakan salah dan benar. Â Tetapi lain halnya jika dilihat dari kacamata kebebasan berpendapat alias demokrasi.
Jujur menilai, kebebasan berpendapat di Indonesia terikat etika Timur. Â Berbeda jika dibandingkan dengan Amerika, negara yang juga menjunjung demokrasi. Â Lihat bagaimana mantan Presiden Amerika Donald Trump sempat "diolok-olok" lewat gambar, tujuannya menyindir kebijakan pemerintahannya ketika itu.
Permasalahannya, apakah Indonesia sudah siap untuk ke tahap dewasa dalam berdemokrasi? Â Menurutku sih tidak, sebab kritik dan kebebasan berpendapat yang terjadi sejauh ini cenderung merusak dan memecah belah daripada masukan membangun.
Beruntungnya kita memiliki Presiden Joko Widodo yang tidak anti kritik. Â Sederet julukan diberikan kepada Jokowi dengan tidak pantas. Â Dimulai dari si planga plongo, bebek lumpuh bahkan Bapak Bipang, dan banyak lagi.
Berpikirlah, apakah kritikan berupa julukan tersebut membangun? Â Dimana moral, etika dan kepantasannya. Â Sementara kita mengaku orang Indonesia dengan nilai Timur, dan mengaku tujuannya membangun negeri? Â Ada baiknya, kita harus ingat, presiden adalah kepala negara, dan ada hukum yang mengatur batasan mengenai hal ini.
Jalan masih sangat panjang untuk Indonesia dewasa dalam berdemokrasi. Â Tetapi, kedewasaan itu sudah dicontohkan oleh Jokowi dengan meminta Polri tidak responsif kepada kritikan lewat mural tersebut.
Artinya, tidak ada yang salah dalam karya mural, ataupun seni lainnya. Â Silahkan berekspresi tanpa batas dengan berbagai media. Â Tetapi, alangkah baiknya jika kritik disampaikan dengan beretika dan menjunjung moral. Â Bukan karena anti, tetapi karena nilai ketimuran bangsa kita.
Singkatnya, tidak ada yang salah dengan mural. Â Tetapi moral masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini ditengah kebebasan alam demokrasi.
Jakarta, 23 Agustus 2021
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H