Kelebihanku sekaligus kekuranganku, begitulah dulu jawabanku ketika ditanya, "Apa kelebihanmu sehingga layak diterima?" Â Sang calon atasan bingung mendengar jawabanku.Â
Tetapi ini bukan jawaban ngeyel, karena aku sangat mengenal diriku yang detail dan rinci. Â Lebih tepatnya sih aku perfeksionis, atau sulit mempercayai orang lain dalam hal pekerjaan. Â Bagiku, lebih baik semua aku kerjakan sendiri karena dijamin lebih sempurna. Â Selain itu, aku juga tidak perlu berdebat dengan orang lain. Â Padahal, apakah iya, atau sebenarnya masalahnya di diriku sendiri?
Bicara salah dan benar, aku tahu ini sangat salah! Â Kesimpulannya, jelas yah masalahnya ada diriku. Â Sebab, di dalam dunia kerja, terlebih jika posisi kita sebagai atasan, sudah seharusnya kita bisa mendelegasikan pekerjaan. Â
Atasan yang baik adalah yang mampu memimpin dan mendelegasikan pekerjaan dengan cara mentransfer ilmu. Â Kacaunya aku ketika diterima bergabung di sebuah perusaahaan asing, aku memilih "menyempurnakan" tugas anak buahku.
Bertambah kacau lagi, ketika di dalam sebuah tim untuk sebuah proyek, aku cenderung dominan. Â Samasekali tidak bermaksud pamer keahlian. Â Murni karena menginginkan proyek tersebut berhasil kami selesaikan dengan hasil terbaik. Â
Aku bahkan tidak peduli dengan effort yang aku keluarkan lebih dari teman lainnya. Â Aku juga tidak mengejar pujian selangit untuk tim kami. Â Bagiku, yang terpenting semua berjalan sempurna.
Seiring waktu Mr. Bos yang pastinya jam terbangnya lebih kencang dariku memanggil. Â "I know your fantastic hard working, but that is not right. Â You are too independent, and one day is going to kill you." Â
Bla..bla..dan bla..Mr. Bos menasehatiku yang intinya sebagai diriku, aku perfect. Â Tetapi sebagai atasan dan rekan kerja, maka aku zero. Â Sebab aku tidak mempercayai bawahanku, ataupun teman sejawat ketika menyelesaikan pekerjaan. Â Sekalipun semuanya kulakukan tanpa hitungan, dan bukan mengharapkan kenaikan gaji.
Menurut Jennifer Kromberg, seorang psikolog dan terapis, dikatakannya bahwa perfeksionisme adalah sebuah dorongan dari dalam diri untuk terus menerus memiliki kehidupan yang berjalan sempurna. Â Adapun ciri-cirinya adalah:
- Tujuan hidupnya tinggi, dia akan bekerja keras hingga targetnya terpenuhi.
- Kritis, bagi diri sendiri dan orang lain. Â Berharap sebuah kesalahan harus diperbaiki untuk kesempurnaan.
- Fokus kepada hasil, dimana dia akan sepenuhnya fokus kepada hasil, dan lupa menikmati proses.
- Takut atau khawatir dikritik, sebab nilai baginya adalah kesempurnaan, maka kritikan baginya adalah menyakitkan atau kegagalan.
Gambaran seperti ini, aku banget. Â Satu cerita ketika secara tidak sengaja aku memberikan ide pada teman di divisi production house mengenai logo sebuah perusahaan. Â
Awalnya karena ketertarikanku pada aplikasi design. Â Tetapi ujungnya aku justru kecemplung asyik dalam proyek tersebut. Â Padahal tugas utamaku pun menunggu untuk terselesaikan. Â
Kejadian ini tidak hanya sekali, tetapi kerap terjadi "terperangkap" rangkap tugas. Â Benar, semua tanggungjawab bisa aku kerjakan dengan sempurna. Â Tetapi menjadi tidak benar ketika kita terjebak rangkap tugas.
Tidak hanya di dunia kerja. Â
Di kehidupan sehari-hari pun terjadi. Â Namun, belajar dari pengalaman kerja, aku mencoba berubah. Â Tidak mudah memang, sebab ekspetasiku selalu tinggi. Â
Aku cenderung memberikan kritikan jika merasa janggal terhadap suatu kondisi. Â Sebenarnya kritikan tersebut bukan untuk menjatuhkan ataupun kepentinganku sendiri, melainkan untuk kebaikan bersama. Â Â
Tetapi, bagi mereka yang sulit menerima, maka label tukang rusuh kerap disematkan kepadaku. Melelahkan memang, karena niat baik diterima dengan salah.
Perjalanan waktu mengajarkanku banyak hal. Â Aku harus bisa berdamai dengan diriku. Â Baik di lingkungan pekerjaan ataupun di komunitas tempatku berada. Inilah yang kemudian aku coba lakukan, mendengar dan mengajari siapapun yang ingin belajar dariku.
Tujuannya, tidak hanya agar mereka bisa menuntaskan tanggungjawab pekerjaannya. Â Tetapi juga untuk meningkatkan kualitas dan pengetahuannya. Â Sedang untuk diriku sendiri, aku belajar berdamai dengan keadaan agar tidak terjebak dalam tumpukkan tugas.
Jika dilihat secara keseluruhan memang melelahkan fisik dan jiwa. Â Tetapi, bagiku ada nilai lebih, yaitu pengalaman dan kepercayaan. Â Percayalah, kedua hal ini tidak bisa dibeli dengan rupiah.
Jakarta, 11 Agustus 2021
Sumber (1)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H