Singkat cerita memang aku tidak sekedar belajar bahasa Inggris di sana. Â Aku kemudian lanjut mengambil kuliah bisnis atas inisiatif sendiri. Â Artinya, aku mengurus dan mengikuti ujian penerimaan di Swinburne University bersaing dengan mahasiswa lokal. Â Mantap, bisa dibayangkan ngeri sedapnya. Â Sementara aku ini pelajar Indonesia yang notabene Inggris bukan bahasa ibuku. Â Tetapi, aku berhasil diterima!
Perjalananku nyaris berakhir, ketika beberapa bulan kemudian aku ditemukan belum mengikuti IELTS (International English Language Testing System) sebagai persyaratan mutlak penerimaan mahasiswa internasional di Australia. Â Heheheh...lha iyalah, karena ketika mendaftar di Swinburne University aku mandiri, bukan dari Indonesia. Â Aku murni bersaing di ujian penerimaaan, sama seperti mahasiswa lokal disana. Â Kembali aku harus berjuang mencari tahu di mana lokasi IELTS test yang direkomendasikan pihak kampusku.
Di dalam IELTS terdapat empat bagian yang diujikan, yaitu speaking, writing, listening dan reading. Â Di speaking section, peserta tes diminta berbicara dengan seorang penguji secara langsung. Â Peserta test ditanya beberapa pertanyaan tentang dirinya sendiri dan sebuah topik selama +-15 menit. Â Konon IELTS test lebih lama dari TOEFL. Â
Tetapi persoalannya, jika gagal mencapai score maka tidak ada pilihan aku harus angkat kaki dari Melbourne, sebab awalnya keberangkatanku hanya untuk ELICOS dan bukan untuk berkuliah. Â Meski memang aku diterima di Swinburne University melewati tahapan test dan lolos. Â Singkat ceritanya aku lolos IELTS, dan aman bisa melanjutkan kuliah dengan beberapa persyaratan di keimigrasian yang harus aku urus sendiri.
Hahaha...kaget dan bersyukur sudah pasti! Â Pikir punya pikir, mungkin "just speak" telah ikut menyelamatkanku. Â Ceritanya, aku hanya 1 bulan bersama Michael, selanjutnya aku memilih tinggal bersama beberapa mahasiswa Taiwan dan Hongkong. Â Biasalah, jiwa petualanganku kumat. Â Hahah... "Don't speak bahasa and staying with Indonesia students," begitu pesan bawel Michael dan istrinya ketika aku pamit ingin mandiri.
Aku bisa saja memilih tinggal dengan komunitas mahasiswa Indonesia yang aku temui di Malvern Church tempatku ibadah. Â Tetapi apa bedanya dengan aku tinggal di Indonesia? Â Hari-hariku dipastikan hanya berbahasa Indonesia, atau bahkan bahasa Jakarta, elu gua. Â Heheh....
Bahkan setelah beberapa bulan menyewa flat bersama mahasiswa Taiwan dan Hongkong, aku memutuskan keluar. Â Ngegilainya, aku memilih sharing tinggal dengan 3 orang hippies cowok yang iklannya aku lihat di harian lokal The Age. Â Mereka itu dua orang New Zealand, dan seorang Aussie. Â Apalagi sebabnya jika bukan karena rasa penasaranku ingin sakti berbahasa Inggris, sekaligus juga mencoba cari tahu kehidupan kaum hippies.
Ngeri sedap sebenarnya, tetapi nyatanya mereka sangat baik. Â Aku mendapat kamar di depan dengan ukuran paling luas. Â Kami berempat berbagi biaya listrik dan makanan. Â Di setiap weekend, kami keluar belanja keperluan seminggu. Â Lalu bergantian memasak untuk dinikmati bersama. Â Bagaimana aku berkomunikasi sudah pasti dengan bahasa Inggris. Â Yup, kondisi memaksaku alias just speak.
Lumayan lama aku tinggal bersama ketiga hippies tersebut. Â Meski akhirnya aku memutuskan keluar dan tinggal sendiri menyewa flat. Â Bukan kenapa-kenapa, tetapi seiring waktu aku semakin disibukkan antara kuliah dan bekerja paruh waktu. Â "Don't be silly young girl. Â Remember you have responsibilities to complete your study. Â Going home late every day is not right." Â Nasehat ceriwis Steve, seorang dari mereka yang selalu menungguiku pulang.
Kesimpulannya, pengalaman apa yang bisa diperoleh saat aku awalnya belajar bahasa Inggris di Melbourne:
- Percaya diri
- Jangan takut untuk berbicara
- Hindari tinggal dengan komunitas orang Indonesia
- Bergaul dan bersahabatlah dengan komunitas mancanegara
- Aktif terlibat di kegiatan-kegiatan setempat
- Biasakan mendengar, melihat dan membaca berita lokal
- Perbanyak literasi sehingga akan memperbanyak kosa kata
- Mengenal dan jalin komunikasi dengan lingkungan
- Beradaptasilah
- Kenali dan pelajari budayanya
Lalu seiring waktu aku paham sikap sadis Michael dulu membiarkanku di hari kedua. Â Aku juga paham, kenapa kedua homestay parentsku kerap mengajakku menonton Orchestra klasik, atau mengajakku bergabung bersama sahabat-sahabat mereka di setiap weekend. Â Jawabannya, selain ingin memperkenalkan kehidupan di Melbourne, juga ingin membuatku merasa nyaman dan percaya diri.Â