Ehhhmmm....ini persis dengan yang aku dan teman-teman lakukan di kelas. Â Menyelipkan keripik pedas atau jajanan manisan mangga di kantong rok, lalu mengunyah di saat jam pelajaran yang membosankan. Â Lha...iyalah, daripada ketiduran benaran di kelas, mending mengunyah pelan-pelan. Â Hahahahah...
Sangking senangnya dengan bagian ini, maka sebelum membaca, aku sudah menyiapkan camilan. Â Oiya, jangan salah karena aku memberikan hadiah pada diriku sendiri hanya boleh membaca buku cerita di setiap weekend. Â Maka di setiap weekend juga sebelum pulang sekolah, aku borong camilan di kantin. Â Kebetulan, Ompung juga mengijinkan jajan di setiap weekend. Â Sedang di hari lain aku selalu dibawakannya bekal, dan itu berbentuk rantang 3 susun! Â Heheh..tentang ini ada ceritanya tersendiri. Â Tidak jauh-jauh karena Ompung ingin mengajarkanku disiplin dan sederhana.
Kembali kepada ritual membaca di setiap weekend, maka segala bentuk camilan ramai tersedia di kamar. Â Mulailah aku tenggelam di dalam alur cerita. Â Kemudian, ketika dibagian yang menceritakan makan atau pesta tengah malam, aku pun membuka camilanku satu per satu.
Berkhayal habis aku, seakan-akan ikutan di dalam cerita. Â Seru, asyik dan sangat menghiburku setelah sumpek dengan segala ketegangan di sekolah. Â Serius, kedua buku tersebut benar-benar mengingatkanku dengan disiplin di SMP tempatku belajar. Â Disiplin yang bikin kepala dan hatiku panas mendidih. Â Uuuppss...
Bayangkan, kami yang semuanya putri dilarang lari-lari di lorong kelas. Â Kami juga dilarang untuk memberikan pendapat, yang menurut mereka itu kategori membantah. Â Padahal menurutku namanya anak sekolah yah apa salahnya lari-larian di jam istirahat. Â Apakah karena semuanya cewek jadi tidak boleh lari? Â Terus tidak benar bangetlah jika membela diri diartikan membantah. Â Apa salahnya seorang anak berpendapat dan berpegang dengan prinsipnya.
Cerita pengalamanku, terlambat karena ban kempes. Â Harusnya itu bukan salahku, karena mana aku tahu kalau ban mobil yang mengantarku kena paku di jalan raya. Â Tetapi suster tidak terima alasan, dan aku yang mencoba menjelaskan justru diartikan membantah.Â
Di lain waktu, aku membubarkan ekstrakuler Bali dikarenakan sudah 30 menit guru tidak datang. Â Lalu santai aku mengunci ruang aula dan mengajak teman-teman makan mie Gang Kelinci di seberang sekolah. Â Selesai makan, kami pun kembali ke sekolah untuk mengambil tas. Â Apa daya, sang guru sudah duduk manis di depan pintu aula. Â Hahahah...besok paginya selesailah nasibku di tangan suster. Â Menurutnya aku sebagai ketua tidak bertanggungjawab dan bolos. Â Padahal salah siapa, karena kenyataannya guru ekskul tersebut yang terlambat 30 menit! Â Sedang kami murid terlambat 1 menit saja tidak boleh. Â Itu tidak adil suster kataku membela diri, dan berakhir Ompung dipanggil. Â Hahahha...
Ini seperti salah satu alur cerita yang aku baca. Â Terpaksa mengendap-endap merayakan ultah tengah malam karena tidak bisa mereka lakukan siang hari, sebab melanggar aturan asrama. Â Padahal, apa salahnya dengan seru-seruan merayakan ulang tahun teman. Â Kok jadi nyebelin kena hukuman karena peraturan yang kurang fleksibel sih menurutku.
Terus terang ketika kanak-kanak aku kesal dengan semua disiplin tersebut. Â Tetapi, seiring bertambah dewasa dan terlebih sekarang, aku jadi mengerti. Â Aku mengerti dan bersyukur karena dididik di sekolah seperti SMP ku dulu.
Sekarang aku paham kenapa sekolahku dulu, ataupun sekolah asrama seperti Malory Towers dan St. Clare's menerapkan disiplin tinggi. Â Itu bukan untuk mengekang, tetapi mengajarkan kepatuhan dan ketaatan. Â Di setiap kepatuhan dan ketaatan itu pun ada tanggungjawab. Â Itulah sebabnya setiap pelanggaran ada resiko hukuman. Â Jika tidak mau terkena hukuman, maka berhati-hatilah dalam bersikap atau bertindak.
Mengenai diriku, akhirnya aku paham kenapa disiplin begitu keras di sekolahku dulu. Â Bukan tidak mau mendengarkan pembelaanku. Â Tetapi nilai yang ingin ditanamkan adalah mengakui kesalahan, dan bukan teriak mencari pembenaran.