Takbir Ramadhan selalu mengumandangkan sukacita mengagungkan namaNya. Tidak terasa sebulan sudah berlalu hari-hari berat menahan segala bentuk nafsu dan keinginan. Â
Bahkan puasa membuat tidak berdaya oleh segelas air putih ketika itu. Dipastikan berat, bayangkan kita haus tetapi dilarang minum. Â Kita lapar, tetapi diminta bersabar hingga saat berbuka. Kita kesal, tetapi ditahan untuk tidak marah. Â Intinya, kita diminta menahan diri, dan bersabar.
Nyatanya banyak saudaraku umat Muslim mampu melakukannya, sekedar menahan lapar dan haus. Â Tetapi, bagaimana dengan menahan diri untuk tidak bergunjing atau menghilangkan sifat iri misalnya. Â
Ehhhmmm...ini masalah hati, dan hanya Dia yang tahu. Â Tetapi disitulah letak kejujurannya, karena dimataNya tidak ada yang bisa disembunyikan.
Luarbiasanya Idul Fitri tahun ini berbeda, karena bersamaan dengan hari Kenaikan Isa Almasih, hari besar umat Nasrani. Â Dia yang mati di kayu salib dikenang sebagai hari Jumat Agung, dan bangkit pada hari ketiga yang dikenal sebagai Paskah. Â Kemudian setelah 40 hari Yesus naik ke surga mempersiapkan tempat bagi mereka yang berkenan kepadaNya.
Apakah itu berarti untuk umat Nasrani sebuah jaminan bahwa ketika kedatangan Jesus untuk kedua kalinya semua umatNya akan bersama Dia? Â Jawabannya tidak, karena kembali kepada kita masing-masing sejauh mana kita telah menjadi pribadi yang baik.
Kembali kepada Idul Fitri yang menjadi hari kemenangan, kemenangan terhadap apa? Â Maaf, apakah karena sanggup menahan lapar, haus dan berhenti bergunjing sebulan, lalu auto menang?
Sebagai non-Muslim aku percaya bahwa Tuhan menghendaki umatNya menjadi karakter yang baik, tidak hanya untuk sebentar waktu. Â Tetapi, bulan puasa harusnya menjadi saat untuk intropeksi dan mengendalikan diri. Â Kita kembali fitri, dan lahir menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari sebelum Ramadhan.
Miris kalau semua kebaikan dan perubahan di bulan puasa terhenti karena sudah tidak Ramadhan lagi. Â Kemana semua pengendalian diri, dan sikap yang mau berempati, dan saling berbagi ketika bulan Ramadhan kemarin. Â Dimana semua waktu yang diberi untuk selalu bersujud kepadaNya.
Hal sama dengan umat Nasrani, ketika Jesus telah mati menebus dosa kita di kayu salib, apakah kita auto sudah dimenangkanNya? Â Maaf, enak banget kalalu begitu, dimana tanggungjawab sebagai pengikutNya?
Aku percaya setiap agama mengajarkan kebaikan, dan semua prilaku kita di dunia dicatat olehNya, menjadi tanggungjawab pribadi lepas pribadi. Â Seorang ibu, atau ayah tidak bisa memesan tempat di surga untuk anaknya, demikian juga sebaliknya. Â Kita harus bertanggungjawab masing-masing sesuai dengan amal dan ibadah kita. Â Terlepas apapun agama atau keyakinan kita, karena semua sama dimataNya.
Sehingga bagiku kemenangan adalah mengalah diri sendiri. Â Alasannya, karena hukum dunia manusia sulit mau mengalah. Â Lebih banyak pribadi yang asyik menonjolkan diri, tidak peduli orang lain. Â Menilai dan menghakimi orang seenak hatinya seolah biasa dan wajar. Â Manusia-manusia yang berteriak, "Aku...aku...dan aku...!" Â Semua hal hanyalah tentang diri dan kepentingannya.
Padahal sebagai manusia, kita ini tidak tinggal sendirian di muka bumi ini. Â Kita bahkan memiliki saudara di belahan dunia lain, dari berbagai etnis, budaya dan agama. Â Harus diingat, manusia sebagai makhluk sosial, butuh orang lain. Â Disinilah kuncinya, sejauh mana kita memberi waktu dan mengendalikan diri ketika bersosialisasi.
Mengendalikan lapar dan haus mungkin bisa. Â Tetapi mengendalikan diri untuk tidak iri, menilai dan menghakimi orang lain itu sulit. Â Kita dituntut bijak dan memiliki kebesaran hati, yang disebut pengendalian diri. Â Jamak diri kita akan berpikir," Ini orang sok tahu, enak saja dia begini dan begitu, bla...bla...dan bla....." Â Kesimpulan cepat karena kita tidak sungguh tahu cerita sebenarnya, karena kita hanya fokus kepada diri sendiri. Â Padahal alangkah baiknya, jika menahan emosi, bersabar dan jadilah pendengar yang baik sebelum bersuara nyaring berakhir salah.
Mengalah bukan kalah, nilai yang aku tanamkan kepada kedua buah hatiku. Â Teriak mereka sama, "Mana bisa begitu ma, enak saja dong mereka injak-injak kita."
Heheh...lumrah kalau komentar seperti itu datang dari bocah, dan kewajiban kita orang tua menjelaskan. Â Kepada keduanya aku mengatakan, sebab mengalah adalah hal tersulit untuk dilakukan. Â Semua orang di dunia ini ingin menang, dan ingin dunia memandangnya. Â Tetapi, ketika kita yakin bahwa kita benar dan dapat mempertanggungjawabkan, maka mengalah adalah kemenangan. Â Kemenangan karena kita mampu mengalahkan diri kita.
Termasuk ketika kita mau berempati, menekan sebentar hati dan diri ini untuk tidak bablas berprilaku. Â Sebisanya kita menjaga perasaan atau hati orang lain. Â Jika kita bisa terluka, maka orang lainpun sama. Â Jika orang lain seenaknya, apakah kita harus seperti itu juga? Â Lha..apa bedanya kita dengan mereka.
Intinya, peperangan tersulit adalah melawan diri kita sendiri. Â Sedang melawan orang lain jauh lebih mudah, tinggal mengarang cerita, mempergunjingkanya, atau biar lebih ramai main fisik saja. Â Hahah...tetapi itu norak sekali, karena seperti kita tidak mengenal Dia. Â Yup, ini semua adalah masalah hati, adakah hati kita diubahkan menjadi manusia yang lebih baik.
Semoga Idul Fitri dan Kenaikan Isa Almasih mengubah kita menjadi manusia yang jauh lebih baik. Â Bukan sekedar kemenangan yang semu terikut euforia. Â Jadilah pribadi yang semakin baik karena keinginan diri sendiri, bukan karena keterpaksaan. Â Sebab petarungan sesungguhnya adalah diri kita.
Jakarta, 13 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H